Minggu, 01 Maret 2015

Identifikasi dan Analisis Undang-Undang no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Identifikasi dan Analisis Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam ruang lingkup hukum privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang yang penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun tangan langsung dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat tetapi menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa langkah ini dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang menjadikan Tenaga Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi korban dan kurang mendapat perlindungan. Pembuatan regulasi yang mengatur secara khusus ketenagakerjaan dituangkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hubungan Ketenagakerjaan
Hubungan Ketenagakerjaan
Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta buah bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil antara sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini telah diatur agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga sedang menjadi bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah outsourcing. Dimana praktek outsourcing ini menyengsarakan pekerja atau buruh dan menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara pekerja dengan pengusaha.
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus dijalani. Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan pascakerja. Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam proses tersebut juga akan lahir berbagai  masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana tingkat penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU Ketenagakerjaan kepada pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari regulasi tersebut juga perlu di identifikasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat banyak hal yang peru dibenahi. Maka dapat ditentukan hal-hal yang akan menjadi rumusan masalah yaitu :
  1. Bagaimanakah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?
  2. Apakah tujuan dari disahkan dan diundangkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan  ?
  3. Mengapa setelah adanya regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan masih tetap saja ada masalah dalam bidang ketenagakerjaan ?
  4. Bagaimanakah problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam bidang ketenagakerjaan terkait perlindungan tenaga kerja ?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Ketenagakerjaan
Pada awalnya keberadaan Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa fase pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia mengenal adanya sistem gotong royong diantara sesama anggota masyarakat. Gotong royong adalah sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga dengan tujuan untuk mengisi kekurangan tenaga. Sifat gotong royong memiliki nilai luhur yang juga diyakini membawa kemaslahatan. Dengan nilai-nilai kebaikan, kebijakan, dan hikmah untuk masyarakat hingga gotong royong menjadi sumber terbentuknya Hukum Ketanagakerjaan Adat. Karena bersifat konvensional regulasi dari Hukum Ketanagakerjaan Adat tidak tertulis. Namun Hukum Ketanagakerjaan Adat menjadi identitas bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad.
Memasuki abad masehi, saat mulai berdirinya kerajaan di Indonesia hubungan kerja dilakukan dengan adanya perbudakan. Ketika zaman Kerajaan Hindia Belanda terdapat sistem pengkastaan dengan 5 perbeadaan kasta antara lain, brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Kasta paling rendah adalah golongan sudra sedangkab paria adalah budak dari kasta brahmana, ksatria, dan waisya, Golongan paria layaknya budak hanya menjalankan kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan.
Pada masa Kerajaan Islam meski tidak secara tegas adanya sistem pengangkatan. Namun pada pokoknya sama saja, pada masa ini kaum bangsawan (raden ) mempunyai kekuasaan atau hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh dinding budaya bangsa yang sudah berlaku sejak 6 abad sebelumnya.
Ketika Hindia Belanda menduduki Indonesia, masalah perbudakan semakin meningkat. Terdapat perlakuan sangat keji dan tidak berprikemanusiaan terhadap budak. Problem solvingnya adalah memberikan kedudukan yang sama antara budak dengan manusia merdeka secara sosiologis, yuridis dan ekonomis. Langkah nyata dalam menyelesaikan masalah perbudakan tersebut adalah pada masa Belanda dengan dikeluarkannya Staatblad 1817 No. 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke Pulau Jawa. Tahun 1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (Regeling Reglement) 1818 berdasarkan pasal 115 RR yang menetapkan bahwa paling lambat pada tanggal 1 Juni 1960 perbudakan dihapuskan.
Berbagai masalah perbudakan dalam ketenagakerjaan terjadi di masa lalu. Namun selain berbagai kasus pada masa pendudukan Hindia Belanda mengenai perbudakan yang keji. Terdapat perbudakan lain yang dikenal dengan istilah rodi yang pada dasarnya sama saja dengan perbudakan lainnya. Rodi pada dasarnya merupakan kerja paksa yang pada awalnya dilakukan gotong royong oleh semua penduduk desa-desa tertentu. Dengan keadaan tersebut maka penjajah memanfaatkannya menjadi suatu kerja paksa untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
B. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan diberbagai aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang dilakukan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan ketanagakerjaan berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas demokrasi pancasila, asas adil, dan merata.
Dalam pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-bagian yang harus dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu senditi adalah pra kerja, masa dalam hubungan kerja, masa purna kerja (post employment). Cakupan dari ketenagakerjaan terbilang luas, jangkauan hukum ketenagakerjaan lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perdata yang diatur dalam buku III title 7A. Terdapat ketentuan yang mengatur penitikberatan pada aktivitas tenaga kerja dalam hubungan kerja
Berbicara mengenai hubungan kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : ”Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsure-unsur pekerjaan , upah dan perintah” dan “Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Secara Umum
Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat) tujuan yang disebutkan pada Pasal 4 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
  1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang  terpadu untuk dapat  memberikan  kesempatan  kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
  1. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
  1. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
  2. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Karena bidang ketenegakerjaan dianggap penting dan menyangkut kepentingan umum. Maka pemeritah mengaihkannya dari hukum privat menjadi hukum publik. Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan tenaga kerja asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi untuk kepentingan di bidang ketenagakerjaan.
Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan adalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja ini termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah :
  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. suatu pokok persoalan tertentu
  4. suatu sebab yang tidak dilarang
Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13 thn. 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :
  1. Adanya unsure service (pelayanan)
  2. Adanya unsure time (waktu )
  3. Adanya unsure pay (upah )
Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak adil (diskrimimasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
Masyarakat menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan berbagai masalah yang telah terjadi sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sebagian bisa teratasi setelah lahirnya regulasi tersebut. Namun setelah lahirnya UU tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya  masalah baru terkait dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah adalah masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam hubungan kerjanya dengan  pengusaha yang memperkerjakannya. Masalah tersebut adalah outsourcing  yang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur secara khusus dalam penyelesaiannya.
Pemahaman masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melahirkan niat dari masyarakat untuk dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya niat dari pemerintah untuk melakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi kepada masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalahan telah terjadi serta sebagai langkah preventif untuk masalah baru. Pemerintah memberikan kesempatan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan kajian independen dan penyempurnaan revisi UU Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menakertrans Muhaimin Iskandar setelah melakukan pertemuan konsolidasi Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di Jakarta, tepatnya Senin tanggal 8 November 2010 lalu.
Dalam pertemuan tersebut dibahas pasal-pasal yang terkait dengan outsourcing (alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta dan pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam pertemuan tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai penyempurnaan dan revisi UU No. 13/2003 yang dilakukan secara komprehensif, baik itu revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri, ataupun terkait dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa draft yang disebut revisi UU No.13  tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada saat itu pula Muhaimin selaku Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut bukan berasal dari Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya begitu saja dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran dan sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan November proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di lingkungan internal Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas kementerian dan pihak lainnya. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap pematangan. Jika materi atas revisi UU Ketenagakerjaan tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR hingga akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya tanda akan di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun langkah revisi atas UU Ketenagakerjaan adalah problem solving atas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya regulasi tersebut. Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait ketenagakerjaan tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan karena Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak mungkin saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans, LIPI dan LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa menerima dengan baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat untuk perbaikan regulasi tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang terdengar ditelinga masyarakat yang merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan LKS Tripartit demi memperkuat peranannya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh, menarik investasi dan penciptaan industri yang lebih bagus.

KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Masyarakat memahami dengan jelas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terlihat jelas dengan cara masyarakat menanggapi berbagai ketentuan dan kekurangan dari UU Ketenagakerjaan tersebut. Masyarakat memahami dengan baik kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh dari regulasi tersebut dan masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru dalam ketenagakerjaan. Masyarakat menerima dengan baik terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ditunjukkan dengan adanya niat masyarakat untuk melakukan perbaikan melalui revisi UU Ketenagakerjaan tersebut
Akibat lahirnya berbagai masalah di Indonesia terkait ketenagakerjaan. Maka ketenagakerjaan yang pada awalnya berada dalam ruang lingkup hukum privat maka pemerintah memandang hukum ketenagakerjaan itu bagian penting untuk diatur langsung oleh pemerintah sehingga dialihkan menjadi bagian dari hukum publik. Sedangkan tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri dituangkan dalam Pasal 4 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski awalnya berbagai permasalahan sebelum lahirnnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat diselesaikan. Namun ternyata setelah lahir UU tersebut malah melahirkan masalah baru dalam hal kurangnya perlindungan terhadap pekerja/buruh dan masih adanya celah lain untuk lahirnya masalah baru dalam ketenagakerjaan. UU Ketengakerjaan tersebut belum mengatur dengan jelas perlindungan terhadap pekerja/buruh yang selalu berada dipihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja.
Problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam bidang ketenagakerjaan saat ini adalah perlunya dilakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena masih kurangnya perlindungan yang diberikan pada pekerja/buruh yang menjadi pihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja dan masih adanya celah yang bisa memberikan masalah baru dalam ketenagakerjaan terutama dalam hubungan kerja.
B. Saran
Peran serta berbagi kalangan masyarakat dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan. Karena dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan secara nasional tidak hanya menjadi bagian dari pemerintah tetapi juga kalangan masyarakat pada umumnya. Masyarakat pada umumnya dalam hal ini tidak hanya kalangan pekerja/buruh atau para pengusaha. Namun juga masyarakat lain yang berada diluar pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemerintah dapat membuat peraturan atau kebijakan dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Tetapi ketika dalam penegakannya dan penerapannya dalam masyarakat tidak adanya peran aktif masyarakat dalam mewujudkan penegakan hukum yang baik dalam ketenagakerjaan. Maka usaha yang dilakukan pemerintah tentu akan sia-sia. Pemerintah tidak akan dapat bertepuk sebelah tangan.

DAFTAR PUSTAKA
http://hukumonline.com/ diakses pada hari Jumat pukul 12:38 WIB tanggal 21 Oktober 2011
http://maulabour.wordpress.com/ diakses pada hari Selasa pukul 13:53 WIB tanggal 25 Oktober 2011
http://studihukum.wordpress.com/ diakses pada hari Selasa pukul 13:53 WIB tanggal 25 Oktober 2011
http://www.djpp.depkumham.go.id/ diakses hari Kamis tanggal 15 September 2011 pukul 07:44 WIB
http://www.pikiran-rakyat.com/ diakses pada hari Jumat pukul 12:39 WIB tanggal 21 Oktober 2011
Soetami, A. Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sutedi, Andrian, 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar