SAYA TUNGGU PENANGKAPAN SAYA DI SINI...MALAYS..... Itupun kalau AWAK BERANI dan Punya UANG..... Awak semua SUDAH PISAHKAN Saya dan ABANG saya dengan CARA yang KEJAM....REBUT NAMA ORGANISASI SAYA beserta PROGRAM nya DENGAN CARA yang LICIK....TAPI ITULAH MALAYSIA....yang artinya Melayu Yang SIAGA....iyo tahhh?!!
Minggu, 01 Februari 2015
Kepada Bpk. Fuad Amin
Bapak Matur Selangkong hehehhehe. Sudah ketemukan anak saya dengan Mas Asep. Yang terutama adalah Beliau sampai mau bertemu dengan keluarga saya.
Buat Roman Bintang Kurnia Ramadhan dan Roman Tegar Kurnia Setiawan
Bintang...sudah ketemu adik?.....Jadi laki2x HARUS KUAT....Ibu sayang Bintang....dan Tegar serta Nabilla. Jaga Adik Bin.....Salim sama semua...Nurut sama Bapak dan Papa tahu.....Sungkem untuk semua dari Ibu.
Tentang Schoolarship Olah Raga dan Pendidikan
Tante saya bernama Siti Rahayu Sukarela. Beliau adalah Pensiunan dari Bank JATIM,yang kemudian aktif di Koperasi Bank JATIM. Beliau mempunyai Program DONATUR untuk anak2x yang KURANG MAMPU dalam Pembiayaan Sekolah dan Perkuliahannya.
Tetapi masalah yang Beliau hadapi adalah BELIAU tidak mempunyai donatur yang tetap dan tidak adanya kerja sama dengan Perbankan. Jadi ini semua dilakukan secara PRIBADI. Dan terkadang Beliau HARUS MEMAKAI UANG SENDIRI.
Jadi apa salahnya apabila Pemerintah Republik Indonesia memperhatikan tentang hal ini.
Atau mungkin bisa dari Kerja sama dengan Artis Indonesia untuk Pembiayaan Program Jamie Oliver dan Program dari Tante Saya tersebut.
Dan Saya juga ada adik yang juga adik dari BOS saya yang dahulu di Malaysia,yaitu the owner D'Laman (Restorant Ayam Bakar dan Ayam Penyet). Beliau adalah Pengagum Olahraga Sepak Bola. Boleh tidak apabila saya Memohon Kepada David Beckam atau Gatusso ataupun pada Maldini untuk menerima Mereka sebagai anak asuh?. Dan juga adik saya yang masih lagi ada di Indonesia,yaitu Sdr. SAHID. Beliau juga pernah mengikuti salah satu Tim Sepak Bola di Indonesia,yaitu PERSELA (Persatuan Sepak Bola Lamongan).
Untuk itu saya ucapkan banyak Terima Kasih.
Tetapi masalah yang Beliau hadapi adalah BELIAU tidak mempunyai donatur yang tetap dan tidak adanya kerja sama dengan Perbankan. Jadi ini semua dilakukan secara PRIBADI. Dan terkadang Beliau HARUS MEMAKAI UANG SENDIRI.
Jadi apa salahnya apabila Pemerintah Republik Indonesia memperhatikan tentang hal ini.
Atau mungkin bisa dari Kerja sama dengan Artis Indonesia untuk Pembiayaan Program Jamie Oliver dan Program dari Tante Saya tersebut.
Dan Saya juga ada adik yang juga adik dari BOS saya yang dahulu di Malaysia,yaitu the owner D'Laman (Restorant Ayam Bakar dan Ayam Penyet). Beliau adalah Pengagum Olahraga Sepak Bola. Boleh tidak apabila saya Memohon Kepada David Beckam atau Gatusso ataupun pada Maldini untuk menerima Mereka sebagai anak asuh?. Dan juga adik saya yang masih lagi ada di Indonesia,yaitu Sdr. SAHID. Beliau juga pernah mengikuti salah satu Tim Sepak Bola di Indonesia,yaitu PERSELA (Persatuan Sepak Bola Lamongan).
Untuk itu saya ucapkan banyak Terima Kasih.
Bussiness
The Nanny yang Saya PILIH masih lagi Penjaga Anak dari The Royal Family Of England,BUKAN yang lain. Karena kalau Seseorang atau pihak sudah BERANI mempopulerkan tentang CARA KERJAnya,artinya Mereka semua Memang mencari PIHAK yang MAU dan SANGGUP Bekerja Sama dengan Mereka.
Hal ini juga termasuk JAMIE OLIVER....Saya Nak Bantu Beliau untuk Mengusahakan Pemakanan Sehat untuk Rakyat Republik Indonesia dan (waktu itu)juga untuk Rakyat Malaysia...yang terkesan masih lagi TIDAK ADA PEMAKANAN YANG SEHAT dan SEIMBANG.
Cita2x saya...Dimasa yang akan Datang (jangan ketawa)...Mau Membangun DAM/WADUK di ETHIOPIA...tapi melalui...SOMALIA...Letaknya DAM itu di Perbatasan...
Kalau sudah akan ada Free Area...macam di Perbatasan Malaysia dan Thailand.
Somalia itu masih ada Hutan Tropisnya..paling tidak akan ada pendapatan tambahan untuk mereka,bila rakyat Ethiopia MAU bekerja dan hidup di sekitar DAM tersebut.
Jadi BUKAN hanya BAGI MAKANAN saja...PERCUMA...AKAN TERGANTUNG MACAM ITU TERUS....Bayangkan dari aku kecil sampai sekarang kok masih lagi gitu2x aja.
Tentang Foose...Beliau adalah Perancang Mobil dan Dekorasinya...Terbukti dengan "Overhaulin"nya khan...Apa salahnya Bila...semua TKI yang diluar negara BISA bekerja sama dengan Beliau. Sebab yang di Indonesia sudah banyak pihak yang MAU dan AKAN bekerja sama SAAT ini PASTINYA. Berkenaan dengan Tulisan SAYA pada Pihak FOOSE.
Hal ini juga termasuk JAMIE OLIVER....Saya Nak Bantu Beliau untuk Mengusahakan Pemakanan Sehat untuk Rakyat Republik Indonesia dan (waktu itu)juga untuk Rakyat Malaysia...yang terkesan masih lagi TIDAK ADA PEMAKANAN YANG SEHAT dan SEIMBANG.
Cita2x saya...Dimasa yang akan Datang (jangan ketawa)...Mau Membangun DAM/WADUK di ETHIOPIA...tapi melalui...SOMALIA...Letaknya DAM itu di Perbatasan...
Kalau sudah akan ada Free Area...macam di Perbatasan Malaysia dan Thailand.
Somalia itu masih ada Hutan Tropisnya..paling tidak akan ada pendapatan tambahan untuk mereka,bila rakyat Ethiopia MAU bekerja dan hidup di sekitar DAM tersebut.
Jadi BUKAN hanya BAGI MAKANAN saja...PERCUMA...AKAN TERGANTUNG MACAM ITU TERUS....Bayangkan dari aku kecil sampai sekarang kok masih lagi gitu2x aja.
Tentang Foose...Beliau adalah Perancang Mobil dan Dekorasinya...Terbukti dengan "Overhaulin"nya khan...Apa salahnya Bila...semua TKI yang diluar negara BISA bekerja sama dengan Beliau. Sebab yang di Indonesia sudah banyak pihak yang MAU dan AKAN bekerja sama SAAT ini PASTINYA. Berkenaan dengan Tulisan SAYA pada Pihak FOOSE.
Tentang Permohonan Suaka Politik kepada Negara Republik Indonesia, Inggris,USA,serta UNO
Assalammualaikum,
Tentang Suaka Politik dan Suaka Semua bidang pada Abang Saya Amirul,yang pernah saya Angkat Sebagai Kepala PDRM (mungkin ada beberapa teman yang diinginkan,SAYA PERBOLEHKAN),serta Pak Baim serta orang2x yang menurut Beliau BISA DIAJAK BEKERJA SAMA dalam PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN NEGARA MALAYSIA itu sendiri.
Tentang PEMETAAN TANAH...sebetulnya BISA dan MAMPU saya PERBINCANGKAN HAL ini dengan pihak Pemerintah Inggris (Bukan KOLONIAL....BODOH).......untuk Membantu Malaysia dalam Memperoleh Hak Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan di Negara sendiri.
Selama ini...Awak semua Orang Malaysia hidup,tinggal dan bekerja DITANAH SIAPA?....Awak hanya BERHAK untuk SEWA saja. Tapi sekarang ...Kalau Macam ini...SAYA SENDIRI..BISA MEMPERMASALAHKAN SIAPA SAJA YANG AKAN DAN TELAH MEMPERJUANGKAN TENTANG HAL INI.
Coba Bayangkan...Awak MAKING LOVE (BERSENGGAMA)..MAKAN...MELAHIRKAN (BERANAK)...MEMBESARKAN.....MENGHIRUP UDARA yang dihasilkan dari sekeliling TANAH MILIK SIAPA?.....Awak semua hanya MEMIKIRKAN PERUT AWAK SENDIRI...KEPENTINGAN AWAK SENDIRI. Hanya karena Kemerdekaan Awak semua DIBAGIKAN SECARA FREE oleh Pihak Inggris, yang memang SUDAH MALAS URUSKAN MALAYSIA....Karena Faktor Pembiayaan yang Besar,apabila Mereka tinggal dan Hidup di Malaysia. Bagi Mereka (Inggris)...Lebih baik tinggal di Inggris...tapi Malaysia masih lagi BISA MENGHASILKAN untuk Mereka. Tapi TOH MASIH LAGI DIPERHATIKAN KESEJAHTERAAN AWAK SEMUA melalui COMMONWEALTH....Masih ada Kemanusiaan bukan Kebinatangan (seperti yang awak lakukan pada Abang saya semuanya). Masih lagi DIHARGAI HAM Awak SEBAGAI APAPUN.....
Awak semua MEMILIH UNTUK HIDUP DI JAMAN JAHILIYAH...JAMAN KEBODOHAN.....JAMAN GLOBALISASI Awak Hanya TEKNOLOGI dan PAHAMAN (DOKTRIN) yang AWAK SEMUA TAK MAMPU UNTUK MENJAGA DIRI,AGAR SUPAYA HATI,PEMIKIRAN, serta TINGKAH LAKU AWAK TETAP BISA HIDUP dan BERTAHAN DENGAN ADAT KETIMURAN AWAK.
Semuanya MEMBUTUHKAN KEMERDEKAAN UTUH.....Tapi Awak semua TIDAK.....Memilih untuk Hidup CUKUP dengan CARA macam ini......
Memilih Untuk Makan Uang Orang Lain.....Coba bayangkan ADA atau TIDAK....UANG HALAL DI MALAYSIA?. Semua sudah tercampur dengan Uang Hasil Keringat Orang lain....
Mau Menyalahkan Perdana Menteri saja...Ga Mungkin....Semua.....Lapisan Rakyat Malaysia,yang MENGESAHKAN TINDAKAN ini.
Terbukti dengan Maraknya PELAPORAN TENTANG ORANG KOSONG...dari DULU....
Semua ASURANSI....BERHUBUNGAN dengan PASPOR. Awak Semua harusnya SADAR...Bila Awak Memutuskan untuk Kerja DENGAN GOVERMENT atau PEMERINTAH...Awak semua harus SIAP UNTUK DIPERMASALAHKAN dan DIPERSALAHKAN Tentang Suatu HAL...yang BERKENAAN dengan NEGARA LAIN.
Tentang keluarga KEPERDANA MENTERIAN MALAYSIA Memang...SAYA TIDAK TERIMA..BILA AWAK SALAHKAN ATAS SEMUA HAL YANG TERJADI DI MALAYSIA..Mana Boleh?
Bayangkan Beliau HANYA 1 ORANG...Memang Resiko...Tapi apa yang AWAK BISA BUAT UNTUK NEGARA AWAK KALI INI?...NOTHING...AWAK semua....Rakyat Malaysia...Hanya NATO....Nathing Action Talk Only...Sedangkan Semua KeperdanaMenterian SUDAH MENGINGATKAN tentang BAHASA. Dan PARTAI pun PUNYA PROGRAM sendiri.
Negara itu adalah System Terbesar dari Suatu Pemerintahan...Sedangkan Pemerintahan Terkecil adalah Keluarga itu sendiri. Orang yang Bekerja di Goverment atau Pemerintahan ada 2 kehidupan...Yang sebagai Warga Negara Biasa juga sebagai Pekerja Pemerintahan. Dan Orang2x macam ini,yang terkadang Menghambat System Pemerintahan...Bila Tak Mau Saling Bekerja Sama dengan Orang Lain DILUAR ITU. Nanti kalau ada IDE...DIBILANG PEMBANGKANG....ITULAH KENAPA..ABANG SAYA KENA LIWAT atau SODOMI....Karena MAU SODOMI Bpk. Anwar Ibrahim secara FISIK...TAK BOLEH.
Dilampiaskan pada KAMI SEMUA......
Padahal Bpk. Anwar Ibrahim SUDAH DINYATAKAN TIDAK BERSALAH di depan Mahkamah.
ALASAN Pengangkatan Saya terhadap Bpk. Anwar Ibrahim....Adalah Saya memandang KeperdanaMenterian Malaysia SUDAH DIPERMALUKAN....Indikator dan Barometer Saya pada KeperdanaMenterian Malaysia adalah Bpk. Mahathir Muhammad,karena Beliau mempunyai Kepemimpinan KeperdanaMenterian yang Paling Lama dan Paling Kuat di Malaysia. Sedangkan Bpk. Mahathir Muhammad dan Bpk. Anwar Ibrahim adalah SAUDARA SEPUPU. Apa Salahnya?. Toh semua KEMBALI PADA MALAYSIA...BUKAN PADA REPUBLIK INDONESIA ataupun INGGRIS.
Sedangkan bagi Saya...Tokoh politik yang MAMPU BERDIRI dan MASIH BERSIH HANYA Bpk. Anwar Ibrahim.
Kenapa MAMPU BERDIRI?....Terbukti dengan SEGALA MASALAH APAPUN...Bpk. Anwar Ibrahim MASIH LAGI EKSIST DI dunia POLITIK NASIONAL MALAYSIA.
Kenapa MASIH BERSIH?.....Karena HANYA BELIAU YANG DISEBUT NAMANYA OLEH IUD,tapi TIDAK JADI SUAMI PROTOKOLERI SAYA dan TIDAK DIPERMALUKAN dalam SEGAL HAL seperti Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono serta Bpk. Najib Tun Razak.
Mau Saya serahkan Inggris?...AWAK MAU HIDUP SEMAKIN JAHILIYAH atau TIDAK....Itu saja.
Saya MINTA TOLONG PADA INGGRIS....Its My BUSSINESS....
Pemetaan Tanah...adalah secara Pengukuran Tanah secara Geografis yang akan menentukan Harga Tanah dan Harga Bangunan di Suatu Wilayah tertentu. Itupun masih lagi tergantung dari Pendapatan Perbulan Penduduk Wilayah tersebut dan juga Tingkat inflasi di Negara tersebut. Sedangkan Master Plan adalah Rencana Asli tentang pembangunan suatu negara berdasarkan Pemetaan tanah yang sudah dilakukan setiap tahun,itupun masih lagi melihat Angka Pendapatan wilayah tersebut juga.
Tentang Umat Kristian Protestan dan Katholik....BERSATU untuk KEPENTINGAN NEGARA MALAYSIA...Lagipun apasalahnya BERKATA dan MEMBERI DUKUNGAN seperti ini. Dalam Islam pun mengakui 4 KITAb yang DICIPTAKAN oleh ALLAH SWT untuk Mengatur Kepentingan Umat MANUSIA di BUMI ini.
Tentang Suaka Politik dan Suaka Semua bidang pada Abang Saya Amirul,yang pernah saya Angkat Sebagai Kepala PDRM (mungkin ada beberapa teman yang diinginkan,SAYA PERBOLEHKAN),serta Pak Baim serta orang2x yang menurut Beliau BISA DIAJAK BEKERJA SAMA dalam PERJUANGAN MEMPERTAHANKAN NEGARA MALAYSIA itu sendiri.
Tentang PEMETAAN TANAH...sebetulnya BISA dan MAMPU saya PERBINCANGKAN HAL ini dengan pihak Pemerintah Inggris (Bukan KOLONIAL....BODOH).......untuk Membantu Malaysia dalam Memperoleh Hak Kepemilikan atas Tanah dan Bangunan di Negara sendiri.
Selama ini...Awak semua Orang Malaysia hidup,tinggal dan bekerja DITANAH SIAPA?....Awak hanya BERHAK untuk SEWA saja. Tapi sekarang ...Kalau Macam ini...SAYA SENDIRI..BISA MEMPERMASALAHKAN SIAPA SAJA YANG AKAN DAN TELAH MEMPERJUANGKAN TENTANG HAL INI.
Coba Bayangkan...Awak MAKING LOVE (BERSENGGAMA)..MAKAN...MELAHIRKAN (BERANAK)...MEMBESARKAN.....MENGHIRUP UDARA yang dihasilkan dari sekeliling TANAH MILIK SIAPA?.....Awak semua hanya MEMIKIRKAN PERUT AWAK SENDIRI...KEPENTINGAN AWAK SENDIRI. Hanya karena Kemerdekaan Awak semua DIBAGIKAN SECARA FREE oleh Pihak Inggris, yang memang SUDAH MALAS URUSKAN MALAYSIA....Karena Faktor Pembiayaan yang Besar,apabila Mereka tinggal dan Hidup di Malaysia. Bagi Mereka (Inggris)...Lebih baik tinggal di Inggris...tapi Malaysia masih lagi BISA MENGHASILKAN untuk Mereka. Tapi TOH MASIH LAGI DIPERHATIKAN KESEJAHTERAAN AWAK SEMUA melalui COMMONWEALTH....Masih ada Kemanusiaan bukan Kebinatangan (seperti yang awak lakukan pada Abang saya semuanya). Masih lagi DIHARGAI HAM Awak SEBAGAI APAPUN.....
Awak semua MEMILIH UNTUK HIDUP DI JAMAN JAHILIYAH...JAMAN KEBODOHAN.....JAMAN GLOBALISASI Awak Hanya TEKNOLOGI dan PAHAMAN (DOKTRIN) yang AWAK SEMUA TAK MAMPU UNTUK MENJAGA DIRI,AGAR SUPAYA HATI,PEMIKIRAN, serta TINGKAH LAKU AWAK TETAP BISA HIDUP dan BERTAHAN DENGAN ADAT KETIMURAN AWAK.
Semuanya MEMBUTUHKAN KEMERDEKAAN UTUH.....Tapi Awak semua TIDAK.....Memilih untuk Hidup CUKUP dengan CARA macam ini......
Memilih Untuk Makan Uang Orang Lain.....Coba bayangkan ADA atau TIDAK....UANG HALAL DI MALAYSIA?. Semua sudah tercampur dengan Uang Hasil Keringat Orang lain....
Mau Menyalahkan Perdana Menteri saja...Ga Mungkin....Semua.....Lapisan Rakyat Malaysia,yang MENGESAHKAN TINDAKAN ini.
Terbukti dengan Maraknya PELAPORAN TENTANG ORANG KOSONG...dari DULU....
Semua ASURANSI....BERHUBUNGAN dengan PASPOR. Awak Semua harusnya SADAR...Bila Awak Memutuskan untuk Kerja DENGAN GOVERMENT atau PEMERINTAH...Awak semua harus SIAP UNTUK DIPERMASALAHKAN dan DIPERSALAHKAN Tentang Suatu HAL...yang BERKENAAN dengan NEGARA LAIN.
Tentang keluarga KEPERDANA MENTERIAN MALAYSIA Memang...SAYA TIDAK TERIMA..BILA AWAK SALAHKAN ATAS SEMUA HAL YANG TERJADI DI MALAYSIA..Mana Boleh?
Bayangkan Beliau HANYA 1 ORANG...Memang Resiko...Tapi apa yang AWAK BISA BUAT UNTUK NEGARA AWAK KALI INI?...NOTHING...AWAK semua....Rakyat Malaysia...Hanya NATO....Nathing Action Talk Only...Sedangkan Semua KeperdanaMenterian SUDAH MENGINGATKAN tentang BAHASA. Dan PARTAI pun PUNYA PROGRAM sendiri.
Negara itu adalah System Terbesar dari Suatu Pemerintahan...Sedangkan Pemerintahan Terkecil adalah Keluarga itu sendiri. Orang yang Bekerja di Goverment atau Pemerintahan ada 2 kehidupan...Yang sebagai Warga Negara Biasa juga sebagai Pekerja Pemerintahan. Dan Orang2x macam ini,yang terkadang Menghambat System Pemerintahan...Bila Tak Mau Saling Bekerja Sama dengan Orang Lain DILUAR ITU. Nanti kalau ada IDE...DIBILANG PEMBANGKANG....ITULAH KENAPA..ABANG SAYA KENA LIWAT atau SODOMI....Karena MAU SODOMI Bpk. Anwar Ibrahim secara FISIK...TAK BOLEH.
Dilampiaskan pada KAMI SEMUA......
Padahal Bpk. Anwar Ibrahim SUDAH DINYATAKAN TIDAK BERSALAH di depan Mahkamah.
ALASAN Pengangkatan Saya terhadap Bpk. Anwar Ibrahim....Adalah Saya memandang KeperdanaMenterian Malaysia SUDAH DIPERMALUKAN....Indikator dan Barometer Saya pada KeperdanaMenterian Malaysia adalah Bpk. Mahathir Muhammad,karena Beliau mempunyai Kepemimpinan KeperdanaMenterian yang Paling Lama dan Paling Kuat di Malaysia. Sedangkan Bpk. Mahathir Muhammad dan Bpk. Anwar Ibrahim adalah SAUDARA SEPUPU. Apa Salahnya?. Toh semua KEMBALI PADA MALAYSIA...BUKAN PADA REPUBLIK INDONESIA ataupun INGGRIS.
Sedangkan bagi Saya...Tokoh politik yang MAMPU BERDIRI dan MASIH BERSIH HANYA Bpk. Anwar Ibrahim.
Kenapa MAMPU BERDIRI?....Terbukti dengan SEGALA MASALAH APAPUN...Bpk. Anwar Ibrahim MASIH LAGI EKSIST DI dunia POLITIK NASIONAL MALAYSIA.
Kenapa MASIH BERSIH?.....Karena HANYA BELIAU YANG DISEBUT NAMANYA OLEH IUD,tapi TIDAK JADI SUAMI PROTOKOLERI SAYA dan TIDAK DIPERMALUKAN dalam SEGAL HAL seperti Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono serta Bpk. Najib Tun Razak.
Mau Saya serahkan Inggris?...AWAK MAU HIDUP SEMAKIN JAHILIYAH atau TIDAK....Itu saja.
Saya MINTA TOLONG PADA INGGRIS....Its My BUSSINESS....
Pemetaan Tanah...adalah secara Pengukuran Tanah secara Geografis yang akan menentukan Harga Tanah dan Harga Bangunan di Suatu Wilayah tertentu. Itupun masih lagi tergantung dari Pendapatan Perbulan Penduduk Wilayah tersebut dan juga Tingkat inflasi di Negara tersebut. Sedangkan Master Plan adalah Rencana Asli tentang pembangunan suatu negara berdasarkan Pemetaan tanah yang sudah dilakukan setiap tahun,itupun masih lagi melihat Angka Pendapatan wilayah tersebut juga.
Tentang Umat Kristian Protestan dan Katholik....BERSATU untuk KEPENTINGAN NEGARA MALAYSIA...Lagipun apasalahnya BERKATA dan MEMBERI DUKUNGAN seperti ini. Dalam Islam pun mengakui 4 KITAb yang DICIPTAKAN oleh ALLAH SWT untuk Mengatur Kepentingan Umat MANUSIA di BUMI ini.
Untuk Abang2xku semua
Love u all...Ga usah pikir kawin dulu. Yang penting semua selamat. Sholat....untuk kita semuanya. Lia juga gitu kok....Alhamdulillah Lia Selamat....sekarang sama Kwak Wauw disini. Salam juga untuk semua yang dari Plaza Idaman dan Bu Leha Kelfood (Kru).
Yang penting lagi...JANGAN MALU....kita HARUS DAPAT GANTI RUGI Dari RHB serta dari semua Instansi yang dipakai NAMAnya tapi tak mau Memberi penjelasan Resmi pada kita dan Pada 1st itu sendiri.Selamat Berjuang Bang......Love u All. Terima kasih untuk Staff Kedutaan Besar Republik Indonesia,TNI dan Kepolisian Republik Indonesia serta BANSER......Partai Bulan Bintang Sukses Selalu...Partai Demokrat...Maju Terus...Sukses selalu juga.....
NKRI adalah NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BUKAN NEGARA KOMUNIS REPUBLIK INDONESIA......Siapa2x yang mimpin Negara atau Njaga POLRI.....yang penting BERSATU KITA TEGUH...BERCERAI KITA RUNTUH....PEACEE...dari TNI (titipan kata dari TNI dan Kapolri yang baru).
Yang penting lagi...JANGAN MALU....kita HARUS DAPAT GANTI RUGI Dari RHB serta dari semua Instansi yang dipakai NAMAnya tapi tak mau Memberi penjelasan Resmi pada kita dan Pada 1st itu sendiri.Selamat Berjuang Bang......Love u All. Terima kasih untuk Staff Kedutaan Besar Republik Indonesia,TNI dan Kepolisian Republik Indonesia serta BANSER......Partai Bulan Bintang Sukses Selalu...Partai Demokrat...Maju Terus...Sukses selalu juga.....
NKRI adalah NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA BUKAN NEGARA KOMUNIS REPUBLIK INDONESIA......Siapa2x yang mimpin Negara atau Njaga POLRI.....yang penting BERSATU KITA TEGUH...BERCERAI KITA RUNTUH....PEACEE...dari TNI (titipan kata dari TNI dan Kapolri yang baru).
Tentang Asal-usul Bangsa dan Bahasa Melayu
Van Linschotten (sarjana Belanda yang banyak menulis hal ehwal Kepulauan
Melayu, pada abad ke-18); Bahasa Melayu pada masa itu, bukan sahaja
amat harum namanya juga dianggap bahasa yang paling dihormati antara
bahasa-bahasa timur, dan bahawa orang yang tidak tahu akan bahasa Melayu
di Kepulauan Melayu dapatlah dibandingkan dengan orang yang tidak tahu
akan bahasa Perancis di negeri Belanda pada zaman itu.
Rabu, 5 November 2008
Sejarah Perkembangan dan Asal Usul Bahasa Melayu
1. Untuk mengetahui asal usul Bahasa Melayu kita perlu mengetahui asal usul penutur aslinya terlebih dahulu, iaitu orang Melayu. Asal usul bangsa Melayu sehingga kini masih kabur tetapi beberapa sarjana Eropah seperti Hendrik Kern (Belanda) dan Robert von Heine Geldern (Austria) telah melakukan penyelidikan secara kasar tentang latar belakang dan pergerakan masyarakat Melayu kuno.
2. Teori mereka menyatakan bahawa bangsa Melayu berasal daripada kelompok Austronesia, iaitu kelompok manusia yang berasal dari daerah Yunan di China yang kemudiannya berhijrah dalam bentuk beberapa gelombang pergerakan manusia dan akhirnya menduduki wilayah Asia Tenggara.
3. Gelombang pertama dikenali sebagai Melayu-Proto dan berlaku kira-kira 2500 tahun Sebelum Masehi
4. Kira-kira tahun 1500 tahun Sebelum Masehi, datang pula gelombang kedua yang dikenali sebagai Melayu-Deutro. Mereka mendiami daerah-daerah yang subur di pinggir pantai dan tanah lembah Asia Tenggara. Kehadiran mereka ini menyebabkan orang-orang Melayu-Proto seperti orang-orang Jakun, Mahmeri, Jahut, Temuan, Biduanda dan beberapa kelompok kecil yang lain berpindah ke kawasan hutan dan pedalaman. Golongan Melayu-Deutro ini dikatakan nenek moyang masyarakat Melayu yang ada pada masa kini.
5. Bahasa Melayu berasal daripada rumpun bahasa Austronesia, manakala bahasa-bahasa Austronesia ini berasal daripada keluarga bahasa Austris. Selain daripada rumpun bahasa Austronesia, terdapat rumpun bahasa Austro-Asia dan rumpun bahasa Tibet-Cina.
6. Ahli bahasa telah membahagikan perkembangan bahasa Melayu kepada tiga tahap utama iaitu:
a. Bahasa Melayu Kuno,
b. Bahasa Melayu Klasik dan
c. Bahasa Melayu Moden.
Bahasa Melayu Kuno
1. Bahasa Melayu tergolong dalam keluarga bahasa Nusantara di bawah golongan bahasa Sumatera. Bahasa Melayu kuno digunakan pada abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya. pada waktu itu, BM kuno telah menjadi lingua franca dan bahasa pentadbiran kerana sifat bahasa Melayu yang bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar. Bahasa Melayu juga tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat dan mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.
2. Oleh sebab agama Hindu menjadi pegangan orang Melayu ketika itu, bahasa Melayu banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit yang menyumbang kepada pengayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu. Bahasa Sanskrit dianggap sebagai bahasa sarjana dan digunakan oleh bangsawan. Bahasa Melayu juga mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
3. Bukti penggunaan Bahasa Melayu kuno boleh dilihat pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf Palawa iaitu:
a. Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
b. Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
c. Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
d. Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)
4. Berpandukan isinya, penulisan di batu bersurat tersebut dibuat atas arahan raja Srivijaya, sebuah kerajaan yang mempunyai empayar meliputi Sumatera, Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, Segenting Kra dan Sri Lanka. Oleh itu, ini menunjukkan bahawa Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa rasmi dan bahasa pentadbiran kerajaan Srivijaya, sekaligus meluaskan penyebaran Bahasa Melayu ke tanah jajahan takluknya . Walaupun bahasa pada batu bersurat itu masih berbahasa Sanskrit, akan tetapi masih terdapat pengaruh Bahasa Melayu Kuno di dalamnya.
5. Istilah “Melayu” timbul buat pertama kali dalam tulisan Cina pada tahun 644 dan 645 Masehi. Tulisan ini menyebut mengenai orang “Mo-Lo-Yue” yang mengirimkan utusan ke Negeri China untuk mempersembahkan hasil-hasil bumi keada Raja China. Letaknya kerajaan “Mo-Lo-Yue” ini tidak dapat dipastikan tetapi ada yang mencatatkan di Semenanjung Tanah Melayu dan di Jambi, Sumatera.
6. Selain bukti penggunaan bahasa Melayu kuno di atas,batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis dalam huruf Nagiri.
7. Bahasa Melayu kuno mempunyai beberapa ciri iaitu;
a. Terdapat unsur-unsur pinjaman daripada bahasa Sanskrit.
b. Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
c. Tidak wujud bunyi e pepet (Contoh dengan - dngan atau dangan)
d. Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
e. Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
f. Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatshitta)
g. Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)
Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa Melayu Klasik
1. Pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13 turut memberi kesan kepada perkembangan bahasa Melayu. Kedatangan Islam ke Tanah Melayu telah banyak mengubah sistem bahasa Melayu terutama dari aspek kosa kata, struktur ayat dan sistem tulisan.
2. Terdapat tiga batu bersurat yang penting:
a. Batu bersurat di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356)- ditulis dalam huruf India dan
mengandungi prosa Melayu kuno dan beberapa baris sajak Sanskrit. Bahasanya berbeza sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.
b. Batu bersurat di Minye Tujuh, Acheh (1380)- masih memakai abjad India dan buat pertama kalinya terdapat penggunaan kata-kata Arab seperti kalimat nabi, Allah dan rahmat
c. batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)- ditulis dalam tulisan Jawi dan membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.
3. Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan bahasa Melayu kuno kerana selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan.
Bahasa Melayu Klasik
1. Abad ke –13 merupakan waktu bermulanya zaman peralihan di Kepulauan Melayu dengan berkembangnya agama Islam ke rantau ini. Ini telah mempengaruhi bangsa dan bahasa di sini, terutamanya bangsa dan bahasa Melayu. Pengaruh India sedikit demi sedikit mula digantikan dengan pengaruh Islam dan Arab. Kegemilangannya bahasa Melayu klasik boleh dibahagikan kepada tiga zaman penting iaitu zaman kerajaan Melaka, zaman kerajaan Acheh dan zaman kerajaan Johor-Riau
2. Zaman penting bagi Bahasa Melayu ialah pada zaman Kerajaan Melayu Melaka. Kerajaan Melayu Melaka yang telah menerima Islam dan berjaya membina empayar yang luas telah dapat meningkatkan kemajuan dan perkembangan Bahasa Melayu di rantau ini. Bahasa Melayu telah digunakan dalam pentadbiran dan aktiviti perdagangan serta menjadi “lingua franca” para pedagang. Bahasa Melayu juga telah menjadi alat penyebaran agama Islam ke seluruh Kepulauan Melayu. Bahasa Melayu telah mendapat bentuk tulisan baru iaitu tulisan Jawi. Perbendaharaan kata juga telah bertambah dengan wujudnya keperluan untuk mengungkapkan idea-idea yang dibawa oleh peradaban Islam. Keagungan Kesultanan Melaka jelas tergambar di dalam “Sejarah Melayu” oleh Tun Seri Lanang, sebuah karya dalam Bahasa Melayu yang sangat tinggi nilainya.
3. Kedatangan orang-orang Eropah dan kejatuhan Kesultanan Melaka ke tangan Portugis pada tahun1511 masehi tidak menamatkan pengaruh Bahasa Melayu. Ramai di antara mereka yang menjalankan penyelidikan dan menyimpan catatan mengenai bahasa dan kesusasteraan Melayu. Beberapa contoh usaha mereka ialah :
a. Pigafetta, seorang ketua kelasi berbangsa Itali dalam pelayarannya bersama Magellan, telah menyusun kamus Melayu-Itali semasa singgah di Pulau Tidore pada tahun 1521. Kamus ini merupakan daftar kata daripada bahasa yang dituturkan oleh orang-orang di pelabuhan itu dengan lebih 400 patah perkataan dan merupakan daftar kata Melayu-Eropah yang tertua. Kedudukan Pulau Tidore yang terletak jauh daripada tempat asal Bahasa Melayu menggambarkan betapa luasnya Bahasa Melayu tersebar.
b. Jan Hugen Van Linschotten, seorang bangsa Belanda pernah tinggal di Indonesia antara tahun 1586 hingga 1592 dan berkhidmat sebagai pegawai kepada pemerintah Portugis. Beliau ada mencatatkan dalam bukunya bahawa Bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling dihormati antara bahasa-bahasa negeri timur.
c. Pada awal abad ke-18, Francios Valentijn, seorang pendeta dan ahli sejarah bangsa Belanda yang banyak menulis menganai wilayah Kepulauan Melayu, telah menggambarkan kepentingan Bahasa Melayu seperti berikut :
“Bahasa mereka, Bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri-negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang.”
4. Satu bukti tentang tingginya martabat Bahasa Melayu dan luas penggunaanya di wilayah ini adalah pada surat-menyurat antara pentadbir dan raja-rja di Kepulauan Melayu. Antaranya ialah :
a. Surat Sultan Acheh kepada Kapitan Inggeris, James Lancester (1601)
b. Surat Sultan Alauddin Shah dari Acheh kepada Harry Middleton (1602)
c. Surat Sultan Acheh kepada raja Inggeris, King James (1612)
(Ketiga-tiga surat ini tersimpan di perpustakaan Bodelein, London)
5. Dalam abad ke-17, terdapat banyak usaha oleh sarjana-sarjana Eropah untuk menyusun kamus dan daftar kata, yang kemudiannya diteruskan kepada bidang morfologi, sintaksis dan fonologi.
6. Tokoh-tokoh tempatan juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan. Kebanyakan usaha mereka berkisar tentang agama dan sastera. Palembang dan Acheh telah menggantikan Melaka sebagai pust keintelektualan Melayu. Tokoh-tokoh di Acheh antaranya ialah :
a. Sheikh Nuruddin Al-Raniri (“Bustanul Salatin”)
b. Shamsuddin Al-Sumaterani (“Mirat Al-Mukmin”)
c. Abdul Rauf Singkel (“Mirat Al-Tullab”)
d. Hamzah Fansuri (“Syair Perahu”)
7. Di Palembang pula terdapat Abdul Samad Al-Falambani dengan kitab “Hikayat Al-Salakin”.
8. Selain daripada Acheh dan Palembang, beberapa tokoh juga timbul di tempat-tempat lain. Di Brunei, Pengiran Syahbandar Muhammad Salleh (Pengiran Indera Muda) telah menghasilkan “Syair Rakis”, manakala di Banjarmasin pula terkenal dengan Arshad Al-Banjari dengan kitab “Sabil Al-Muhtadin”. Sheikh Mohd Ismail Daud Al-Fatani di Pattani pula menghasilkan “Matla’al Badrain” dan “Furu’ Al-Masail”.
Ciri-ciri bahasa Melayu klasik:
1. Ayatnya panjang, berulang, berbelit-belit dan banyak menggunakan struktur ayat pasif.
2. Menggunakan bahasa istana: contoh tuanku, baginda, bersiram, mangkat dsb.
3. Kosa kata arkaik dan jarang digunakan ; ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih)
4. Banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun.
5. Banyak menggunakan ayat songsang: pendepanan predikat
6. Banyak menggunakan partikel ``pun' dan `lah'
Perkembangan Bahasa Melayu Moden
1. Bahasa Melayu moden dikatakan bermula pada abad ke-19. Hasil karangan Munsyi Abdullah dianggap sebagai permulaan zaman bahasa Melayu moden kerana sifatnya yang dikatakan agak menyimpang dengan bentuk bahasa Melayu klasik. Sebelum penjajahan British, bahasa Melayu mencapai kedudukan yang tinggi, berfungsi sebagai bahasa perantaraan, pentadbiran, kesusasteraan, dan bahasa pengantar di pusat pendidikan Islam.
2. Selepas Perang Dunia Kedua, British merubah dasar menjadikan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan.
3. Semasa Malaysia mencapai kemerdekaan, Perkara 152 Perlembagaan Persekutuan menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan yang menyebut bahawa, "Bahasa Kebangsaan negara ini adalah Bahasa Melayu dan hendaklah ditulis dalam apa-apa tulisan sebagaimana yang diperuntukan dengan undang-undang Parlimen”.
4. Akta Bahasa Kebangsaan 1963/1967 menetapkan bahawa bahasa Melayu ialah bahasa rasmi negara (bahasa yang digunakan dalam semua urusan rasmi kerajaan persekutuan, negeri, tempatan dan badan berkanun).
5. Laporan Razak 1956 mencadangkan agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan negara dan menjadi alat utama perpaduan antara kaum.
Anda mungkin juga meminati:
Konsep Melayu dan Hipotesis Asal Usul Bahasa Melayu
Dari Wikipedia Bahasa Melayu Diperolehi daripada "http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Kuno"
PIPP dan Pengiktirafan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Ilmiah
Rabu, 5 November 2008
Sejarah Perkembangan dan Asal Usul Bahasa Melayu
1. Untuk mengetahui asal usul Bahasa Melayu kita perlu mengetahui asal usul penutur aslinya terlebih dahulu, iaitu orang Melayu. Asal usul bangsa Melayu sehingga kini masih kabur tetapi beberapa sarjana Eropah seperti Hendrik Kern (Belanda) dan Robert von Heine Geldern (Austria) telah melakukan penyelidikan secara kasar tentang latar belakang dan pergerakan masyarakat Melayu kuno.
2. Teori mereka menyatakan bahawa bangsa Melayu berasal daripada kelompok Austronesia, iaitu kelompok manusia yang berasal dari daerah Yunan di China yang kemudiannya berhijrah dalam bentuk beberapa gelombang pergerakan manusia dan akhirnya menduduki wilayah Asia Tenggara.
3. Gelombang pertama dikenali sebagai Melayu-Proto dan berlaku kira-kira 2500 tahun Sebelum Masehi
4. Kira-kira tahun 1500 tahun Sebelum Masehi, datang pula gelombang kedua yang dikenali sebagai Melayu-Deutro. Mereka mendiami daerah-daerah yang subur di pinggir pantai dan tanah lembah Asia Tenggara. Kehadiran mereka ini menyebabkan orang-orang Melayu-Proto seperti orang-orang Jakun, Mahmeri, Jahut, Temuan, Biduanda dan beberapa kelompok kecil yang lain berpindah ke kawasan hutan dan pedalaman. Golongan Melayu-Deutro ini dikatakan nenek moyang masyarakat Melayu yang ada pada masa kini.
5. Bahasa Melayu berasal daripada rumpun bahasa Austronesia, manakala bahasa-bahasa Austronesia ini berasal daripada keluarga bahasa Austris. Selain daripada rumpun bahasa Austronesia, terdapat rumpun bahasa Austro-Asia dan rumpun bahasa Tibet-Cina.
6. Ahli bahasa telah membahagikan perkembangan bahasa Melayu kepada tiga tahap utama iaitu:
a. Bahasa Melayu Kuno,
b. Bahasa Melayu Klasik dan
c. Bahasa Melayu Moden.
Bahasa Melayu Kuno
1. Bahasa Melayu tergolong dalam keluarga bahasa Nusantara di bawah golongan bahasa Sumatera. Bahasa Melayu kuno digunakan pada abad ke-7 hingga abad ke-13 pada zaman kerajaan Sriwijaya. pada waktu itu, BM kuno telah menjadi lingua franca dan bahasa pentadbiran kerana sifat bahasa Melayu yang bersifat sederhana dan mudah menerima pengaruh luar. Bahasa Melayu juga tidak terikat kepada perbezaan susun lapis masyarakat dan mempunyai sistem yang lebih mudah berbanding dengan bahasa Jawa.
2. Oleh sebab agama Hindu menjadi pegangan orang Melayu ketika itu, bahasa Melayu banyak dipengaruhi oleh sistem bahasa Sanskrit yang menyumbang kepada pengayaan kosa kata dan ciri-ciri keilmuaan (kesarjanaan) Bahasa Melayu. Bahasa Sanskrit dianggap sebagai bahasa sarjana dan digunakan oleh bangsawan. Bahasa Melayu juga mudah dilentur mengikut keadaan dan keperluan.
3. Bukti penggunaan Bahasa Melayu kuno boleh dilihat pada batu-batu bersurat abad ke-7 yang ditulis dengan huruf Palawa iaitu:
a. Batu bersurat di Kedukan Bukit, Palembang (683 M)
b. Batu bersurat di Talang Ruwo, dekat Palembang (684 M)
c. Batu bersurat di Kota Kampur, Pulau Bangka (686 M)
d. Batu bersurat di Karang Brahi, Meringin, daerah Hulu Jambi (686 M)
4. Berpandukan isinya, penulisan di batu bersurat tersebut dibuat atas arahan raja Srivijaya, sebuah kerajaan yang mempunyai empayar meliputi Sumatera, Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, Segenting Kra dan Sri Lanka. Oleh itu, ini menunjukkan bahawa Bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa rasmi dan bahasa pentadbiran kerajaan Srivijaya, sekaligus meluaskan penyebaran Bahasa Melayu ke tanah jajahan takluknya . Walaupun bahasa pada batu bersurat itu masih berbahasa Sanskrit, akan tetapi masih terdapat pengaruh Bahasa Melayu Kuno di dalamnya.
5. Istilah “Melayu” timbul buat pertama kali dalam tulisan Cina pada tahun 644 dan 645 Masehi. Tulisan ini menyebut mengenai orang “Mo-Lo-Yue” yang mengirimkan utusan ke Negeri China untuk mempersembahkan hasil-hasil bumi keada Raja China. Letaknya kerajaan “Mo-Lo-Yue” ini tidak dapat dipastikan tetapi ada yang mencatatkan di Semenanjung Tanah Melayu dan di Jambi, Sumatera.
6. Selain bukti penggunaan bahasa Melayu kuno di atas,batu bersurat di Gandasuli, Jawa Tengah (832 M) ditulis dalam huruf Nagiri.
7. Bahasa Melayu kuno mempunyai beberapa ciri iaitu;
a. Terdapat unsur-unsur pinjaman daripada bahasa Sanskrit.
b. Bunyi b ialah w dalam Melayu kuno (Contoh: bulan - wulan)
c. Tidak wujud bunyi e pepet (Contoh dengan - dngan atau dangan)
d. Awalan ber- ialah mar- dalam Melayu kuno (contoh: berlepas-marlapas)
e. Awalan di- ialah ni- dalam bahasa Melayu kuno (Contoh: diperbuat - niparwuat)
f. Ada bunyi konsonan yang diaspirasikan seperti bh, th, ph, dh, kh, h (Contoh: sukhatshitta)
g. Huruf h hilang dalam bahasa moden (Contoh: semua-samuha, saya: sahaya)
Peralihan Bahasa Melayu Kuno Ke Bahasa Melayu Klasik
1. Pengaruh agama Islam yang semakin mantap di Asia Tenggara pada abad ke-13 turut memberi kesan kepada perkembangan bahasa Melayu. Kedatangan Islam ke Tanah Melayu telah banyak mengubah sistem bahasa Melayu terutama dari aspek kosa kata, struktur ayat dan sistem tulisan.
2. Terdapat tiga batu bersurat yang penting:
a. Batu bersurat di Pagar Ruyung, Minangkabau (1356)- ditulis dalam huruf India dan
mengandungi prosa Melayu kuno dan beberapa baris sajak Sanskrit. Bahasanya berbeza sedikit daripada bahasa batu bersurat abad ke-7.
b. Batu bersurat di Minye Tujuh, Acheh (1380)- masih memakai abjad India dan buat pertama kalinya terdapat penggunaan kata-kata Arab seperti kalimat nabi, Allah dan rahmat
c. batu bersurat di Kuala Berang, Terengganu (1303-1387)- ditulis dalam tulisan Jawi dan membuktikan tulisan Arab telah telah digunakan dalam bahasa Melayu pada abad itu.
3. Ketiga-tiga batu bersurat ini merupakan bukti catatan terakhir perkembangan bahasa Melayu kuno kerana selepas abad ke-14, muncul kesusasteraan Melayu dalam bentuk tulisan.
Bahasa Melayu Klasik
1. Abad ke –13 merupakan waktu bermulanya zaman peralihan di Kepulauan Melayu dengan berkembangnya agama Islam ke rantau ini. Ini telah mempengaruhi bangsa dan bahasa di sini, terutamanya bangsa dan bahasa Melayu. Pengaruh India sedikit demi sedikit mula digantikan dengan pengaruh Islam dan Arab. Kegemilangannya bahasa Melayu klasik boleh dibahagikan kepada tiga zaman penting iaitu zaman kerajaan Melaka, zaman kerajaan Acheh dan zaman kerajaan Johor-Riau
2. Zaman penting bagi Bahasa Melayu ialah pada zaman Kerajaan Melayu Melaka. Kerajaan Melayu Melaka yang telah menerima Islam dan berjaya membina empayar yang luas telah dapat meningkatkan kemajuan dan perkembangan Bahasa Melayu di rantau ini. Bahasa Melayu telah digunakan dalam pentadbiran dan aktiviti perdagangan serta menjadi “lingua franca” para pedagang. Bahasa Melayu juga telah menjadi alat penyebaran agama Islam ke seluruh Kepulauan Melayu. Bahasa Melayu telah mendapat bentuk tulisan baru iaitu tulisan Jawi. Perbendaharaan kata juga telah bertambah dengan wujudnya keperluan untuk mengungkapkan idea-idea yang dibawa oleh peradaban Islam. Keagungan Kesultanan Melaka jelas tergambar di dalam “Sejarah Melayu” oleh Tun Seri Lanang, sebuah karya dalam Bahasa Melayu yang sangat tinggi nilainya.
3. Kedatangan orang-orang Eropah dan kejatuhan Kesultanan Melaka ke tangan Portugis pada tahun1511 masehi tidak menamatkan pengaruh Bahasa Melayu. Ramai di antara mereka yang menjalankan penyelidikan dan menyimpan catatan mengenai bahasa dan kesusasteraan Melayu. Beberapa contoh usaha mereka ialah :
a. Pigafetta, seorang ketua kelasi berbangsa Itali dalam pelayarannya bersama Magellan, telah menyusun kamus Melayu-Itali semasa singgah di Pulau Tidore pada tahun 1521. Kamus ini merupakan daftar kata daripada bahasa yang dituturkan oleh orang-orang di pelabuhan itu dengan lebih 400 patah perkataan dan merupakan daftar kata Melayu-Eropah yang tertua. Kedudukan Pulau Tidore yang terletak jauh daripada tempat asal Bahasa Melayu menggambarkan betapa luasnya Bahasa Melayu tersebar.
b. Jan Hugen Van Linschotten, seorang bangsa Belanda pernah tinggal di Indonesia antara tahun 1586 hingga 1592 dan berkhidmat sebagai pegawai kepada pemerintah Portugis. Beliau ada mencatatkan dalam bukunya bahawa Bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa yang paling dihormati antara bahasa-bahasa negeri timur.
c. Pada awal abad ke-18, Francios Valentijn, seorang pendeta dan ahli sejarah bangsa Belanda yang banyak menulis menganai wilayah Kepulauan Melayu, telah menggambarkan kepentingan Bahasa Melayu seperti berikut :
“Bahasa mereka, Bahasa Melayu, bukan sahaja dituturkan di daerah pinggir laut, tetapi juga digunakan di seluruh Kepulauan Melayu dan di segala negeri-negeri Timur, sebagai suatu bahasa yang difahami di mana-mana sahaja oleh setiap orang.”
4. Satu bukti tentang tingginya martabat Bahasa Melayu dan luas penggunaanya di wilayah ini adalah pada surat-menyurat antara pentadbir dan raja-rja di Kepulauan Melayu. Antaranya ialah :
a. Surat Sultan Acheh kepada Kapitan Inggeris, James Lancester (1601)
b. Surat Sultan Alauddin Shah dari Acheh kepada Harry Middleton (1602)
c. Surat Sultan Acheh kepada raja Inggeris, King James (1612)
(Ketiga-tiga surat ini tersimpan di perpustakaan Bodelein, London)
5. Dalam abad ke-17, terdapat banyak usaha oleh sarjana-sarjana Eropah untuk menyusun kamus dan daftar kata, yang kemudiannya diteruskan kepada bidang morfologi, sintaksis dan fonologi.
6. Tokoh-tokoh tempatan juga tidak ketinggalan memberikan sumbangan. Kebanyakan usaha mereka berkisar tentang agama dan sastera. Palembang dan Acheh telah menggantikan Melaka sebagai pust keintelektualan Melayu. Tokoh-tokoh di Acheh antaranya ialah :
a. Sheikh Nuruddin Al-Raniri (“Bustanul Salatin”)
b. Shamsuddin Al-Sumaterani (“Mirat Al-Mukmin”)
c. Abdul Rauf Singkel (“Mirat Al-Tullab”)
d. Hamzah Fansuri (“Syair Perahu”)
7. Di Palembang pula terdapat Abdul Samad Al-Falambani dengan kitab “Hikayat Al-Salakin”.
8. Selain daripada Acheh dan Palembang, beberapa tokoh juga timbul di tempat-tempat lain. Di Brunei, Pengiran Syahbandar Muhammad Salleh (Pengiran Indera Muda) telah menghasilkan “Syair Rakis”, manakala di Banjarmasin pula terkenal dengan Arshad Al-Banjari dengan kitab “Sabil Al-Muhtadin”. Sheikh Mohd Ismail Daud Al-Fatani di Pattani pula menghasilkan “Matla’al Badrain” dan “Furu’ Al-Masail”.
Ciri-ciri bahasa Melayu klasik:
1. Ayatnya panjang, berulang, berbelit-belit dan banyak menggunakan struktur ayat pasif.
2. Menggunakan bahasa istana: contoh tuanku, baginda, bersiram, mangkat dsb.
3. Kosa kata arkaik dan jarang digunakan ; ratna mutu manikam, edan kesmaran (mabuk asmara), sahaya, masyghul (bersedih)
4. Banyak menggunakan perdu perkataan (kata pangkal ayat): sebermula, alkisah, hatta, adapun.
5. Banyak menggunakan ayat songsang: pendepanan predikat
6. Banyak menggunakan partikel ``pun' dan `lah'
Perkembangan Bahasa Melayu Moden
1. Bahasa Melayu moden dikatakan bermula pada abad ke-19. Hasil karangan Munsyi Abdullah dianggap sebagai permulaan zaman bahasa Melayu moden kerana sifatnya yang dikatakan agak menyimpang dengan bentuk bahasa Melayu klasik. Sebelum penjajahan British, bahasa Melayu mencapai kedudukan yang tinggi, berfungsi sebagai bahasa perantaraan, pentadbiran, kesusasteraan, dan bahasa pengantar di pusat pendidikan Islam.
2. Selepas Perang Dunia Kedua, British merubah dasar menjadikan bahasa Inggeris sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan.
3. Semasa Malaysia mencapai kemerdekaan, Perkara 152 Perlembagaan Persekutuan menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa kebangsaan yang menyebut bahawa, "Bahasa Kebangsaan negara ini adalah Bahasa Melayu dan hendaklah ditulis dalam apa-apa tulisan sebagaimana yang diperuntukan dengan undang-undang Parlimen”.
4. Akta Bahasa Kebangsaan 1963/1967 menetapkan bahawa bahasa Melayu ialah bahasa rasmi negara (bahasa yang digunakan dalam semua urusan rasmi kerajaan persekutuan, negeri, tempatan dan badan berkanun).
5. Laporan Razak 1956 mencadangkan agar bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan negara dan menjadi alat utama perpaduan antara kaum.
Anda mungkin juga meminati:
Konsep Melayu dan Hipotesis Asal Usul Bahasa Melayu
Dari Wikipedia Bahasa Melayu Diperolehi daripada "http://ms.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu_Kuno"
PIPP dan Pengiktirafan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Ilmiah
Tentang Bahasa Indonesia
Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit
buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman
Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti
Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa
Melayu di kalangan masyarakat luas.
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Berita Utusan On Line
'Kemudahan' bank mudahkan warga asing tinggal lama
PEDAS-PEDAS KARI
azman anuar (azman_selasih@yahoo.com) | 11 Januari 2015 1:04 AM
1 1 Google +0
Kisah pendatang asing tanpa izin (PATI) dan warga asing yang ada permit kerja tidak akan berkesudahan. Nampaknya ada sesetengah tindakan kita bagaikan hangat-hangat tahi ayam. Kita suka guna perkataan gempur tetapi hasilnya tidak seberapa. Biasanya kalau kita kata ‘gempur’, tindakan yang diambil mestilah menghapus secara besar-besaran. Namun apa yang kita lihat, di sebaliknya yang berlaku. Apabila berlaku sesuatu peristiwa nasional yang agak besar, begitu cepat pihak berkuasa kita beralih kepada isu tersebut dan buat-buat lupa terhadap isu PATI yang belum berkesudahan.
Sebab itu saya agak terkilan apabila membaca laporan khas tentang pendatang asing di Cameron Highlands, Pahang dilihat tidak gentar untuk terus beroperasi di tanah tinggi itu walaupun pihak berkuasa telah menjalankan serbuan besar-besaran sebelum ini. Apa yang kita baca di dalam laporan Utusan Malaysia baru-baru ini ialah pendedahan taktik baharu pencerobohan tanah oleh pendatang asing di Cameron Highlands menerusi penemuan ladang-ladang yang terselindung di lereng bukit.
Kisah lambakan warga asing yang bergerak bebas dan melakukan aktiviti perniagaan dan perkhidmatan serta terlibat dalam kegiatan tidak bermoral sebenarnya belum ditangani dengan berkesan.
Kalau kerajaan tidak tunjukkan kesungguhan yang jitu dalam memerangi isu yang rakyat pun resah dan gelisah dibuatnya, jangan salahkan orang awam jika mereka menanam persepsi mungkin pihak berkuasa kita terlibat dalam melindungi PATI terbabit.
Selain persepsi itu, ada perkara yang kita sendiri biarkan ia berlaku di depan mata. Hal ini tidak pernah dibangkitkan oleh sesiapa. Sebab itu dalam ruangan ini beberapa minggu lalu saya katakan kita sendiri memudahkan PATI atau warga asing ‘berkeliaran’ di dalam negara ini dengan bebas. Akhirnya kita sendiri yang tidak dapat mengawalnya.
Sebab, semua pihak hanya memikirkan soal keuntungan dan perniagaan. Soal kegiatan atau urusan itu melibatkan keselamatan dan pengawalan terhadap kebanjiran warga asing kurang diberikan perhatian.
Sebagaimana biasa saya menerima e-mel daripada pembaca. J’mal, seorang juruaudit atau auditor di sebuah bank berkaitan kerajaan (bank GLC) berkata punca sebenar yang memudahkan kehidupan warga asing dan PATI di negara kita adalah kerana kemudahan melakukan transaksi perbankan.
Terlalu mudah untuk mereka membuka akaun simpanan dan menghantar wang ke negara asal. Barangkali untuk membuka akaun memerlukan syarat tertentu seperti seseorang yang memperkenalkan penyimpan kepada bank berkenaan, tetapi bagaimana pula dalam urusan kiriman wang ke luar negara yang begitu mudah diuruskan oleh pihak bank atau ejen kiriman wang termasuk oleh syarikat pengurup wang?
Kelalaian
Kelemahan sistem perbankan kata J’mal, berpunca daripada kelalaian dan sikap tidak apa pihak pengurusan dan pegawai bank. Mereka tidak bersungguh-sungguh mengenal pasti status warga asing sama ada mempunyai permit kerja atau berstatus PATI ketika membuka akaun bank.
Warga asing dan PATI ini boleh hidup di Malaysia (mungkin sukar di negara lain) kerana sudahlah mereka dapat bekerja secara haram berterusan, malah tidak perlu risau tentang keselamatan wang mereka. Wang yang disimpan dalam akaun atau dikirim ke negara asal mereka sudah cukup menjamin keselamatan dan tempoh mereka tinggal di sini.
Yang peliknya, akaun simpanan mereka banyak dibuka dengan bank-bank GLC. Agak susah bagi warga asing dan PATI untuk membuka akaun simpanan dalam bank yang dimiliki oleh tauke Cina. Cuba anda fikir, mengapa?
Kebanyakan warga asing dari rantau Asia Selatan seperti India, Pakistan dan Bangladesh begitu juga China amat mudah mempunyai akaun simpanan dalam bank GLC. Visa lawatan sosial yang dikeluarkan oleh Imigresan Malaysia tidak membenarkan mereka bekerja di negara ini, dan visa kerja pula hanya membenarkan bekerja dalam sektor tertentu. Tetapi transaksi perbankan yang mereka lakukan tidak mencerminkan tahap pekerjaan mereka.
Sebagai contoh, mana mungkin warga asing yang pegang visa (permit kerja) sektor perladangan boleh berada di kawasan perniagaan Jalan Masjid India di Kuala Lumpur dan melakukan banyak transaksi harian yang bernilai puluhan ribu ringgit dalam tempoh berbulan-bulan lamanya.
Mana mungkin ‘pelajar asing’ dari Afrika dan Asia Barat yang diragui status mereka sebagai pelajar, boleh melakukan pemindahan wang ratusan ribu ringgit?
Tidakkah transaksi ini wujud unsur-unsur penyucian wang aktiviti haram (money laundering)?
Kemudahan perbankan seperti ATM, CDM dan perbankan Internet menyebabkan penyeliaan kawalan sistem perbankan di Malaysia diperlekehkan. Mereka menggunakan kemudahan-kemudahan ini sehinggakan bank tidak dapat mengesan aktiviti salah laku money laundering.
Kegiatan ini semua tidak berlaku sekiranya pihak bank mematuhi kawalan selia Bank Negara Malaysia (BNM). Pihak BNM sepatutnya membuat satu arahan kepada bank tempatan untuk mengehadkan tempoh akaun simpanan warga asing. Kalau untuk pelajar asing, akaun simpanan mereka patut ditutup oleh bank setelah tamat tempoh pengajian seperti tertera dalam surat pusat pembelajaran mereka.
Kebanyakan Awang Hitam Afrika datang sebagai pelajar dan dapat membuka akaun simpanan kerana atas permintaan pusat pembelajaran mereka. Masalahnya, pusat pembelajaran mereka ini bukannya kolej atau universiti tetapi hanya pusat pembelajaran yang menawarkan kursus jangka pendek seperti program/kursus Bahasa Inggeris, pelancongan dan masakan. Tetapi mereka berjaya menetap lama di negara kita kerana wang kegiatan haram mereka terjamin dalam simpanan bank sebelum wang itu dipindahkan ke negara luar.
Selagi ada kemudahan bank dan memudahkan warga asing menyimpan wang, selagi itulah mereka akan tinggal lebih lama dan melakukan kegiatan pelik-pelik yang membebankan rakyat tempatan.
- See more at: http://www.utusan.com.my/rencana/kemudahan-bank-mudahkan-warga-asing-tinggal-lama-1.46645#sthash.NneREGvI.dpuf
PEDAS-PEDAS KARI
azman anuar (azman_selasih@yahoo.com) | 11 Januari 2015 1:04 AM
1 1 Google +0
Kisah pendatang asing tanpa izin (PATI) dan warga asing yang ada permit kerja tidak akan berkesudahan. Nampaknya ada sesetengah tindakan kita bagaikan hangat-hangat tahi ayam. Kita suka guna perkataan gempur tetapi hasilnya tidak seberapa. Biasanya kalau kita kata ‘gempur’, tindakan yang diambil mestilah menghapus secara besar-besaran. Namun apa yang kita lihat, di sebaliknya yang berlaku. Apabila berlaku sesuatu peristiwa nasional yang agak besar, begitu cepat pihak berkuasa kita beralih kepada isu tersebut dan buat-buat lupa terhadap isu PATI yang belum berkesudahan.
Sebab itu saya agak terkilan apabila membaca laporan khas tentang pendatang asing di Cameron Highlands, Pahang dilihat tidak gentar untuk terus beroperasi di tanah tinggi itu walaupun pihak berkuasa telah menjalankan serbuan besar-besaran sebelum ini. Apa yang kita baca di dalam laporan Utusan Malaysia baru-baru ini ialah pendedahan taktik baharu pencerobohan tanah oleh pendatang asing di Cameron Highlands menerusi penemuan ladang-ladang yang terselindung di lereng bukit.
Kisah lambakan warga asing yang bergerak bebas dan melakukan aktiviti perniagaan dan perkhidmatan serta terlibat dalam kegiatan tidak bermoral sebenarnya belum ditangani dengan berkesan.
Kalau kerajaan tidak tunjukkan kesungguhan yang jitu dalam memerangi isu yang rakyat pun resah dan gelisah dibuatnya, jangan salahkan orang awam jika mereka menanam persepsi mungkin pihak berkuasa kita terlibat dalam melindungi PATI terbabit.
Selain persepsi itu, ada perkara yang kita sendiri biarkan ia berlaku di depan mata. Hal ini tidak pernah dibangkitkan oleh sesiapa. Sebab itu dalam ruangan ini beberapa minggu lalu saya katakan kita sendiri memudahkan PATI atau warga asing ‘berkeliaran’ di dalam negara ini dengan bebas. Akhirnya kita sendiri yang tidak dapat mengawalnya.
Sebab, semua pihak hanya memikirkan soal keuntungan dan perniagaan. Soal kegiatan atau urusan itu melibatkan keselamatan dan pengawalan terhadap kebanjiran warga asing kurang diberikan perhatian.
Sebagaimana biasa saya menerima e-mel daripada pembaca. J’mal, seorang juruaudit atau auditor di sebuah bank berkaitan kerajaan (bank GLC) berkata punca sebenar yang memudahkan kehidupan warga asing dan PATI di negara kita adalah kerana kemudahan melakukan transaksi perbankan.
Terlalu mudah untuk mereka membuka akaun simpanan dan menghantar wang ke negara asal. Barangkali untuk membuka akaun memerlukan syarat tertentu seperti seseorang yang memperkenalkan penyimpan kepada bank berkenaan, tetapi bagaimana pula dalam urusan kiriman wang ke luar negara yang begitu mudah diuruskan oleh pihak bank atau ejen kiriman wang termasuk oleh syarikat pengurup wang?
Kelalaian
Kelemahan sistem perbankan kata J’mal, berpunca daripada kelalaian dan sikap tidak apa pihak pengurusan dan pegawai bank. Mereka tidak bersungguh-sungguh mengenal pasti status warga asing sama ada mempunyai permit kerja atau berstatus PATI ketika membuka akaun bank.
Warga asing dan PATI ini boleh hidup di Malaysia (mungkin sukar di negara lain) kerana sudahlah mereka dapat bekerja secara haram berterusan, malah tidak perlu risau tentang keselamatan wang mereka. Wang yang disimpan dalam akaun atau dikirim ke negara asal mereka sudah cukup menjamin keselamatan dan tempoh mereka tinggal di sini.
Yang peliknya, akaun simpanan mereka banyak dibuka dengan bank-bank GLC. Agak susah bagi warga asing dan PATI untuk membuka akaun simpanan dalam bank yang dimiliki oleh tauke Cina. Cuba anda fikir, mengapa?
Kebanyakan warga asing dari rantau Asia Selatan seperti India, Pakistan dan Bangladesh begitu juga China amat mudah mempunyai akaun simpanan dalam bank GLC. Visa lawatan sosial yang dikeluarkan oleh Imigresan Malaysia tidak membenarkan mereka bekerja di negara ini, dan visa kerja pula hanya membenarkan bekerja dalam sektor tertentu. Tetapi transaksi perbankan yang mereka lakukan tidak mencerminkan tahap pekerjaan mereka.
Sebagai contoh, mana mungkin warga asing yang pegang visa (permit kerja) sektor perladangan boleh berada di kawasan perniagaan Jalan Masjid India di Kuala Lumpur dan melakukan banyak transaksi harian yang bernilai puluhan ribu ringgit dalam tempoh berbulan-bulan lamanya.
Mana mungkin ‘pelajar asing’ dari Afrika dan Asia Barat yang diragui status mereka sebagai pelajar, boleh melakukan pemindahan wang ratusan ribu ringgit?
Tidakkah transaksi ini wujud unsur-unsur penyucian wang aktiviti haram (money laundering)?
Kemudahan perbankan seperti ATM, CDM dan perbankan Internet menyebabkan penyeliaan kawalan sistem perbankan di Malaysia diperlekehkan. Mereka menggunakan kemudahan-kemudahan ini sehinggakan bank tidak dapat mengesan aktiviti salah laku money laundering.
Kegiatan ini semua tidak berlaku sekiranya pihak bank mematuhi kawalan selia Bank Negara Malaysia (BNM). Pihak BNM sepatutnya membuat satu arahan kepada bank tempatan untuk mengehadkan tempoh akaun simpanan warga asing. Kalau untuk pelajar asing, akaun simpanan mereka patut ditutup oleh bank setelah tamat tempoh pengajian seperti tertera dalam surat pusat pembelajaran mereka.
Kebanyakan Awang Hitam Afrika datang sebagai pelajar dan dapat membuka akaun simpanan kerana atas permintaan pusat pembelajaran mereka. Masalahnya, pusat pembelajaran mereka ini bukannya kolej atau universiti tetapi hanya pusat pembelajaran yang menawarkan kursus jangka pendek seperti program/kursus Bahasa Inggeris, pelancongan dan masakan. Tetapi mereka berjaya menetap lama di negara kita kerana wang kegiatan haram mereka terjamin dalam simpanan bank sebelum wang itu dipindahkan ke negara luar.
Selagi ada kemudahan bank dan memudahkan warga asing menyimpan wang, selagi itulah mereka akan tinggal lebih lama dan melakukan kegiatan pelik-pelik yang membebankan rakyat tempatan.
- See more at: http://www.utusan.com.my/rencana/kemudahan-bank-mudahkan-warga-asing-tinggal-lama-1.46645#sthash.NneREGvI.dpuf
Perbandingan Hukum Ketenagakerjaan di Malaysia dan Indonesia
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KETENAGAKERJAAN NEGARA MALAYSIA DAN
NEGARA INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENEGAKAN HAK ASASI
MANUSIA
Oleh :
Dedi Pahroji & Holyness N Singadimedja
A. Latar Belakang
Walau terjadi peningkatan jumlah imigrasi pekerja dari Indonesia, kerangka
kebijakan yang komprehensif dan lembaga yang efektif guna mengelola pekerja migran
Indonesia belum tersedia. Pada 2004 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri (untuk
selanjutnya akan disebut UU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran) telah disahkan
DPR. Kendati UU tersebut mengandung beberapa ketentuan yang mengagumkan, seperti
jaminan bahwa penempatan tenaga kerja akan dilaksanakan berdasarkan “persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, persamaan gender dan keadilan gender, anti-diskriminasi, dan
anti-perdagangan manusia” (Pasal 2 UU No.39 Tahun 2004) , UU tersebut memiliki
kelemahan konsep dan substansi. Contohnya, secara konsep UU tersebut telah dikritik karena
terfokus pada penempatan pekerja migran ketimbang perlindungan terhadap pekerja migran
tersebut.1 Dinilai dari substansinya, UU tersebut kurang jelas dalam beberapa hal seperti
penugasan tanggung jawab guna menegakkan hak-hak pekerja migran. Namun, aspek
terlemah dari UU ini adalah bahwa penegakkannya selama ini sangatlah kurang dan bahkan
tidak ada sama sekali. Sebagai hasil dari lemahnya hukum dan penegakannya dalam hal
pekerja migran, kasus-kasus pelecehan dan eksploitasi terhadap pekerja migran Indonesia
banyak terjadi di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja, pelatih, pemberi kerja, para pelaku
perdagangan manusia (trafficker) dan pejabat pemerintah yang tidak manusiawi. Kasus-kasus
ini terjadi pada setiap tahapan dari proses migrasi tenaga kerja: pra-keberangkatan, selama
bekerja di luar negeri dan setelah kembali.
Dari berbagai jumlah kasus yang menimpa TKI serta fakta belum selesainya
penanganan hukum atas kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak, terutama kasus-kasus
yang secara langsung bersinggungan dengan hukum, maka sudah selayaknya menimbulkan
berbagai pertanyaan mendasar tentang sejauh mana peranan dan kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap warga negaranya, sehingga dapat dijadikan cerminan untuk melihat
perlindungan yang dilakukan negara (dalam hal ini pemerintah) terhadap warganegara atas
segala bentuk penyiksaan hak asasinya. Hal ini menarik dikaji mengingat pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan keberadaan TKI seperti
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmennakertrans) No. 104 A Tahun
2002, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maupun UU No. 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU
PPTKILN), dan Memorandum Of Understansing (MOU) antara Malaysia dan Indonesia
yang telah diperbaharui pasca dicabutnya moratorium bagi TKI informal Indonesia ke
Malaysia, yang sampai sekarang dirasa masih kurang menampakkan kebijakan yang
menyentuh perlindungan terhadap TKI. Sorotan dari banyak pihak telah melahirkan
peraturan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan substansi yang hanya didominasi
1 KOPBUMI, Legal Analysis of The Law on the Placement and Protection of Indonesia Migrant Workers
overseas, Makalah Rancangan ILO, Jakarta, 2005, hal 2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
dengan aturan mengenai mekanisme operasional pengiriman dan penempatan. Sementara
substansi yang mengatur perlindungan hak-hak TKI ke luar negeri masih kurang
diperhatikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah system hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Malaysia di
bandingkan dengan system hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia bagi buruh migrant Indonesia di negara Malaysia dalam rangka
penegakan hak asasi manusia menurut UUD 1945 ?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriftif analitis menggunakan pendekatan yuridis
normatif , dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum yang digunakan untuk
menghasilkan perlindungan hukum bagi TKI LN sebagai dasar dalam UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang didukung dengan pendekatan
perbandingan (comparative approach) dengan Negara Malaysia yang memiliki Sistim Hukum
yang berbeda dengan negara Indonesia.
Kemudian melakukan analisis secara yuridis kualitatif, dengan menggunakan daya abstraksi dan
penafsiran hukum (interpretasi) untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk uraian-uraian
(deskripsi) dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif
D. Pembahasan
1. Sistem Hukum Ketenagakerjaan di Negara Malaysia dan Sistem Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia dalam Mewujudkan Penegakan Hak Asasi Buruh
Migran
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum
kebiasaan Inggris ( Common Law Sistem ) Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem
hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan atau Mahkamah Syari’ah) dan hukum
adat berbagai kelompok penduduk asli. Malaysia merupakan salah satu dari sekian
banyak (+ 19 negara ) Commonwealth Country atau negara-negara persemakmuran
Inggris. Semua negara-negara persemakmuran mengadopsi sistem hukum Inggris yang
biasa disebut dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau juga Common Law .
Malaysia memiliki sistem federal yang membagi kekuasaan pemerintahan
menjadi Pemerintahan Federal dan Pemerintahan Negara bagian Pembagian kekuasaan
ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Federal. Walaupun undang-undang dasar
menggunakan sistem federal namun sistem ini berjalan dengan kekuasaan yang besar
dari pemerintahan pusat.
Di Malaysia Konstitusi merupakan hukum yang berkedudukan paling tinggi.
Meskipun hukum Malaysia sangat dipengaruhi hukum Inggris tetapi dalam banyak hal
ternyata berbeda, misalnya Parlemen Malaysia berbeda dengan Parlemen Inggris,
Parlemen Inggris memegang kekuasaan tertinggi dan tanpa batas sedangkan parlemen
Malaysia tidak memiliki kekuasaan seperti itu. Malaysia merupakan negara Federal
dengan kostitusi tertulis yang kaku. Parlemen memperoleh kekuasaan dari konstitusi dan
dibagi diantara negara federal denga negara-negara bagian.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Beberapa kewenangan dari Pemerintahan Federal adalah urusan luar negeri,
pertahanan, keamanan nasional, polisi, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur
dan administrasi keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan
industri, perkapalan, navigasi dan perikanan, komunikasi dan trasnsportasi, kinerja dan
kekuasaan federal, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan social.
Sistem pengadilan secara mendasar bersifat federal. Baik hukum federal maupun
negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya pengadilan Syari’ah yang
hanya terdapat pada negara bagian, yang menggunakan sistem Hukum Islam, bersama
dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat.
Selanjutnya juga terdapat Sessions Courts (pengadilan sessi) dan Magistrates’ Courts
(Pengadilan Magistrat). Pengadilan tinggi dan tingkat pengadilan di bawahnya memiliki
yurisdiksi dan kewenangan yang diatur oleh hukum federal. Mereka juga tidak memiliki
yurisdiksi dalam segala hal yang berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan Syari’ah.
Beberapa kewenangan negara bagian diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
praktek agama Islam dalam negara, hak kepmilikan tanah, kewajiban pengambilan
tanah, izin pertambangan, pertanian dan eksploitasi hutan, pemerintahan kota, dan kerja
publik demi kepentingan negara. Terdapat juga beberapa kekuasaan yang berlaku secara
bersamaan diantaranya sanitasi, pengaliran dan irigasi, keselamatan dari kebakaran,
kependudukan dan kebudayaan serta olah raga. Ketika hukum federal dan hukum negara
bagian saling bertentangan maka hukum federallah yang dianggap berlaku.
Menteri yang bertanggung jawab atas undang-undang hubungan industrial dapat
mengajukan perselisihan antara para penyedia lapangan kerja dengan serikat
perdagangan pada pengadilan industri, dan direktur jenderal buruh dapat dipanggil untuk
mengatasi perselisihan mengenai gaji karyawan. Banyak undang-undang yang
menyediakan arbitrase, selanjutnya undang-undang arbitrase tahun 1952 menyediakan
peraturan untuk arbitrase domestik. Terdapat juga Pusat Regional untuk Arbitrase di
Kuala Lumpur yang menyediakan fasilitas untuk dilaksanakan arbitrase atas transaksi
komersial internasional.
Prinsip-prinsip yang meliputi hubungan antara majikan dengan pekerja di
Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :
1. Common law
2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia
3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil
Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari
Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah
benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua
negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus
untuk Malaysia.
Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan
Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta
Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut
ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di
Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam
undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi
kekosongan itu.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi
melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk
menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya “kontrak perkhidmatan” (perjanjian
kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan sebagainya.
Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut :
1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989
2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989
3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989
4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969
5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966
Seperti halnya undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara pada umumnya,
undang-undang ketenagakerjaan Malaysia mengatur ketentuan-ketentuan umum
berkaitan perlindungan bagi pekerja dan majikan / perusahaan seperti perjanjian kerja,
hak dan kewajiban buruh/pekerja dan majikan / pengusaha, jam kerja, upah, cuti /
istirahat, cuti bersalin, ketentuan tentang lembur, jaminan social, hak beribadah,
penghentian pekerjaan / PHK, serta pesangaon dan ketentuan-ketentuannya dan lainlain.
Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah Kementerian Pengurusan Sumber
Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar dengan Kementerian lain, seperti
Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia, Malaysia tidak
mengatur secara khusus perundang-undangan berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia
semua pekerja baik domestic maupun dari luar negara yang bekerja di Malaysia melalui
kontrak kerja yang sah antara pekerja dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta
Perkerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama
dengan Indonesia, malaysia tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan
dengan tenaga kerja informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai
tenaga kerja informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam
perundang-undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan
aturan keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia
untuk batas waktu tertentu.
Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan dengan masa kerja,
upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara Indonesia dalam membuat
perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G to G (government to
government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini ketentuannya lebih berpihak kepada
Majikan. MoU antara pemerintah merupakan legalisasi TKI untuk dapat bekerja di
Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-hak dan kewajiban TKI.
b. Sistem KelembagaanKetenagakerjaan Indonesia
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga pemerintah
utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan penempatan tenaga
kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Departemen juga mengawasi pelatihan keterampilan, pembekalan wajib prakeberangkatan
dan menyediakan sejumlah kecil atase tenaga kerja di kedutaan besar
Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan
dengan mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen Kesehatan bertanggungjawab
atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.
UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pembentukan Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (BNPP-TKLN).
Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga Kerja baru-baru ini telah meyakinkan
masyarakat bahwa badan ini akan mulai beroperasi pada Oktober 2006. BNPP-TKLN akan
terdiri dari departemen-departemen pemerintah yang terkait, dan akan bertanggungjawab
langsung pada presiden. Badan ini akan memiliki tanggung jawab untuk “menerapkan
kebijakan-kebijakan dalam bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri secara terkoordinir dan terpadu” (Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004). Hal ini akan
meliputi, interalia, rekrutmen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, keberangkatan dan
perlindungan dalam negara.
Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten dalam menerapkan UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran tidak
dibuat dengan jelas. UU tersebut tidak menjelaskan hubungan antara BNPP-TKLN dan
tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Saat ini, kesepakatan penempatan kerja
haruslah didaftarkan dengan wewenang Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan
dibentuk di ibukota-ibukota provinsi. Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan
pelatihan tampaknya dibagi secara informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda;
hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan penting lainnya juga tidak tercakup dalam
UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah sekarang berlaku di Indonesia, maka penting bagi
UU tersebut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan tanggung jawab tiap tingkat
pemerintahan dalam mengelola proses migrasi. Pembagian wewenang terakhir haruslah
berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu
sisi dengan sumber daya manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi
lainnya.
Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di luar negeri
dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka peraturan yang ada sekarang
adalah untuk mengawasi agen agen ini melalui skema perizinan yang disebut sebagai Surat
Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau SIPPTKI.
Saat ini ada sekitar 400 PJTKI dengan izin beroperasi di Indonesia dan 90% di
antaranya tergabung dalam APJATI. Selain dari PJTKI yang memiliki izin resmi,
diperkirakan sekurangnya ada 800 perusahaan penyalur jasa tenaga kerja yang ilegal di
Indonesia. Sebagian besar dari perusahaan ilegal ini sebenarnya dikontrak oleh PJTKI resmi
untuk menyelenggarakan kampanye rekrutmen awal mereka.
c. Persamaan dan Perbedaan Sistem Hukum Ketenagakerjaan pada Negara Malaysia
dan Indonesia
Indonesia dan Malaysia merupakan 2 negara dengan Sistim Hukum yang berbeda.
Namun prinsip-prinsip umum mengenai ketenagakerjaan juga berlaku bagi negara Malaysia
maupun Indonesia sebagai negara anggota International Labour Organitation.
Negara Malaysia tidak termasuk negara yang mengirimkan warga negaranya secara
formal untuk bekerja di negara lain, melalui perjanjian antar negara sebagai negara pengirim
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
tenaga kerja seperti Indonesia. Warga negara Malaysia yang bekerja di negara lain bekerja
sebagai Tenaga Kerja Asing yang mempunyai keahlian tertentu pada sektor formal, berbeda
dengan negara Indonesia yang dengan jelas mengirimkan warganya sebagai tenaga kerja di
luar negeri baik sektor formal maupun pada sektor informal, sehingga Malaysia tidak
memiliki undang-undang khusus tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri, termasuk
badan / instansi pemerintah khusus yang menangani tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.
Peraturan mengenai ketenagakerjaan di Malaysia merupakan wewenang Kementerian
Pengurusan Sumber Manusia di bawah Perdana Menteri, sama dengan Kementerian Tenaga
kerja dan transmigrasi di Indonesia sebagai pembantu presiden dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Sebagai negara dengan bentuk federal, ketenagakerjaan merupakan
wewenang langsung federal bukan merupakan wewenang negara bagian, sehingga apabila
terjadi perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan pada peradilan federal yang khusus
menangani perburuhan atau perselisihan industrial, perbedaannya dengan negara Indonesia,
di Indonesia terdapat peradilan hubungan industrial pada daerah provinsi di bawah
Mahkamah Agung yang untuk beberapa perselisihan sifatnya final dan binding.
Terhadap kasus-kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja Indonesia yang banyak terjadi
di Malaysia, mereka terjerat hukum berdasarkan perbuatan mereka yaitu hukum pidana, baik
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja maupun majikan, sehingga pengadilan yang
berwenang untuk meyelesaikan perkara tersebut tidak melalui peradilan hubungan industrial,
kecuali berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban pekerja dan majikan yang jelas tertera di
dalam kontrak perjanjian yang telah dilanggar oleh salah satu pihak, di luar pelanggaran
hukum pidana, diselesaikan melalui peradilan hubungan industrial (dalah hal ini hanya
berlaku pada tenaga kerja formal yang bekerja di Malaysia) begitu juga pada peradilan
Indonesia dibedakan dengan jelas setiap kompetensi masing-masing peradilan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum.
Perwakilan negara Indonesia di Malaysia membentuk satuan khusus untuk membantu
penyelesaian masalah TKI (terutama yang bekerja di sektor informal) yang merupakan
gabungan dari berbagai perwakilan dari departemen tenaga kerja, departemen luar negeri,
dan kepolisian RI. Sementara untuk TKI yang mengalami permasalahan hukum di
pengadilan diberikan pendampingan / bantuan hukum. Untuk menangani penyelesaian
sengketa tenaga kerja di Malaysia digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam The
Industrial Court Ordinance of 1948 dan Industrial Relations Act 1967. Dalam ketentuan
tersebut seperti halnya negara-negara maju yang menggunakan arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa, maka Malaysia pun mempunyai sistim peradilan untuk
ketenagakerjaan menggunakan lembaga arbitrase dengan tata cara yang hamper serua yang
dikenal dengan istilah Industrial Court.
b. Perlindungan Hukum yang diberikan Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia
bagi Buruh Migrant Indonesia di Negara Malaysia dalam Rangka Penegakan Hak
Hsasi Manusia menurut UUD 1945
Kerja merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu penghidupan
yang layak. Pekerjaan sangat berarti dalam upaya kelangsungan hidup dan mengaktualisasi
diri sehingga dapat lebih bermakna dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya2. Hak bagi
setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga
2 Muslan Abdurrahman.2006.Malang.Ketidakpatuhan TKI Sebuah Efek Diskriminasi Hukum.UMM Press.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pekerjaan mempunyai makna yang sangat berarti dalam kehidupan manusia. Hal ini
merupakan salah satu bentuk hak yang melekat didalam diri bangsa Indonesia, sebagaimana
yang diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan IV UUD 1945 Pasal 27
ayat (1) menyatakan “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian”. Ketentuan ini diperkuat dengan pasal 28 D ayat (2) menyatakan
“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan pelakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”.
Oleh karena hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah sebagai
penyelenggara pembangunan berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negaranya agar
dapat berkerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya, dan harus
dilakukan seoptimal mungkin oleh Negara. Dengan demikian, hak setiap warga Negara
dalam memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi. Artinya, Indonesia dituntut untuk melakukan
perencanaan terhadap hal tersebut untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar terciptanya
kesadaran atas kewajiban suatu negara3. Akan tetapi faktanya, Sampai saat ini di Indonesia
lapangan pekerjaan sangat terbatas. Karena Indonesia belum mampu menyediakan pekerjaan
seperti yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, sehingga secara ekonomi masyarakat
Indonesia banyak yang memprihatinkan. Disamping itu kesatuan dan kesatuan harus dijaga
dan stabilitas syarat bagi usaha-usaha lain dalam pembangunan ekonomi4 dan mengunakan
strategi-strategi dalam memecahkan persoalan bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia.5
Dalam ketentuan Undang-Undang, penempatan tenaga kerja Indonesia dibagi atas 2
yaitu tenaga kerja dalam negeri dan tenaga kerja luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri
telah mempunyai kekuatan dalam perlindungan ketenagakerjaan dapat dilihat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Selanjutnya, Undang-Undang Republik ndonesia No. 39 tahun 2004 yang mengatur tentang
penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri di
awasi secara langsung oleh Negara karena buruh berkerja dalam kedaulatan Negara
Republik Indonesia, sedangkan Tenaga Kerja Indonesia yang berada di luar negeri
perlindungan hukum mereka adalah MoU (Memorandum of Understanding) dan kedutaan
besar.
Perlindungan terhadap hak-hak dasar TKI di Malaysia telah dibentuk oleh pemerintah.
Bentuk perlindungan yang sebelumnya telah disepakati Indonesia dan Malaysia adalah
dengan membuat perjanjian berupa Memorandum of Understanding (MoU) TKI formal,
yakni TKI yang berkerja disektor pertambangan, pertanian dan pabrik kemudian
Memorandum of Understanding TKI informal, yakni TKI yang berkerja pada sektor rumah
tangga. Memorandum of Understanding (MoU) perlindungan TKI formal ditandatangani
pada 10 mei 2004 untuk menggantikan kedudukan nota penempatan TKI formal. Sebelum
ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) penempatan TKI di Malaysia
menggunakan “pertukaran nota mengenai prosedur penempatan TKI di Indonesia selain dari
penata laksana rumah tangga”. Kemudian penandatanganan Memorandum of Understanding
(MoU) tentang “The recruitment and placementof Indonesian domestic workers” dilakukan
di Bali pada 13 mei 2006. Berdasarkan konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
3Adrian Sutedi.2009.Hukum Perburuhan.sinar grafika.hal.1
4 Juwon Sudarsono..Integritas,Demokrasi,dan Pembangunan.hal.147.
5Amir Santoso dan Riza Sahbudi. 1993. Jakarta. Perspektif pembangunan Politik Indonesia. Dian
Lestari Grafika.hal 148
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
1969 pasal 6 menyinggung kemampuan negara untuk membuat perjanjian dimana
dinyatakan : “Setiap Negara berdaulat memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian”.6
Harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk membuat kebijakan yang tepat dan
komprehensif bagi permasalahan TKI di luar-negeri. Disamping karena penanganan TKI
melibatkan banyak institusi pemerintah maupun non-pemerintah, kerjasama yang baik harus
dijalin antara kedua negara (Indonesia dan Malaysia) sedangkan sistem, prosedur serta
situasi dalam negeri yang harus dihadapi juga berlain-lainan. Yang perlu diperhatikan ialah
bahwa banyak masalah yang sebenarnya bisa dipecahkan dengan sendirinya apabila terdapat
itikad baik dari semua pihak untuk membangun kerjasama yang adil dan saling
menguntungkan. Sebaliknya, perlu juga diantisipasi bahwa semua pihak yang terlibat di
dalam urusan menyangkut TKI mungkin juga memiliki kepentingan-kepentingan sempit dan
terkadang tidak segan-segan mengorbankan kepentingan orang lain. Kemungkinan adanya
penyalahgunaan, kecurangan, atau tindak kejahatan bisa terjadi di semua titik yang
menyangkut jalur pengiriman maupun pemulangan buruh migran yang bekerja di luarnegeri.
Prinsipnya ialah there always goods and bads in everyone. Pada setiap lembaga atau
institusi, tentu terdapat banyak niat baik dan mungkin ada beberapa orang yang berniat
buruk. Tetapi yang harus dihindari ialah supaya kerjasama semua pihak akan dapat
menghasilkan aturan main yang adil dan mencegah munculnya maksud-maksud buruk oleh
pihak tertentu.
Mengingat panjangnya jalur yang harus ditempuh oleh seorang buruh migrant dalam
mengurus segala hal yang menyangkut pekerjaannya di luar-negeri, hal yang paling krusial
ialah informasi yang cukup dan objektif mengenai prosedur, jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, kontrak kerja yang disepakati, serta hak dan kewajiban bagi semua pihak.
Kelemahan yang masih ada sejauh ini ialah bahwa lembaga atau instansi pemerintah yang
bertugas menangani permasalahan di lapangan baru bergerak kalau sudah ada kasus yang
disoroti oleh publik. Dari masalah yang timbul ketika amnesti dari pihak pemerintah
Malaysia berakhir pada tahun 2005, misalnya, terdapat kesan bahwa pemerintah lebih sering
bertindak sebagai pemadam kebakaran. Berbagai laporan dari Human Rights Watch (HRW)
mengungkapkan bahwa buruh migran dari Indonesia adalah termasuk yang paling rendah
dukungannya, baik dari pemerintah, LSM maupun dari public di tanah air. Ini sangat
berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Filipina, misalnya, yang
memberi perhatian lebih serius dan benar-benar memperlakukan buruh migran itu sebagai
”pahlawan devisa”. Alangkah baiknya apabila pola kebijakan pemerintah Indonesia diubah
sehingga bersifat lebih melindungi dan mengambil langkah - langkah preventif sebelum
gejolak dan masalah di lapangan muncul dengan lebih memberdayakan pemerintahan daerah
dalam membuat regulasi sendiri berkaitan buruh migrant di daerahnya sebagaimana amanat
undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
Upaya untuk memperbaiki proses rekrutmen dan pelatihan sebenarnya sudah
diprogramkan oleh pemerintah sejak awal ketika seorang calon TKI berniat untuk bekerja di
luar-negeri. Tetapi sejauh ini tampaknya masih banyak lubang-lubang yang menjadi titik
lemah dalam proses rekrutmen tersebut. Karena banyak calon TKI yang tidak percaya
dengan sejumlah PJTKI, yang sering dilakukan ialah justru mengambil jalur illegal sehingga
menimbulkan masalah di kemudian hari. Maka tindakan tegas terhadap PJTKI liar yang
6 Soemaryo Suryokusumo.2003. Yogyakarta. Pembuatan dan Berlakunya Perjanjian.UGM. hal.2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
sekadar ingin memperoleh keuntungan cepat dari calon TKI kiranya masih perlu terus
ditingkatkan. Beberapa peraturan perundangan sebenarnya sudah menggariskan pentingnya
koordinasi lintas departemen untuk menangani TKI yang lingkup persoalannya sangat luas,
misalnya yang tertuang di dalam Inpres No.4 tahun 2004. Tetapi tampaknya kebijakan
sektoral masih terjadi apabila sejumlah TKI menghadapi masalah di dalam maupun di luar
negeri. Komitmen pemerintah sekarang ini untuk melengkapi pranata yang memadai bagi
perlindungan TKI di luar negeri adalah sebuah langkah terobosan.
Selanjutnya, kerjasama yang erat antara Depnakertrans dan Deplu untuk perlindungan
TKI perlu terus dibangun dan semestinya menjadi program prioritas yang membutuhkan
langkah-langkah harmonisasi. diperlukan komitmen lebih kuat untuk melindungi TKI yang
sedang bekerja di luar-negeri. Intervensi memang tidak mungkin dilakukan secara langsung
karena sebagai buruh migran mereka ada di wilayah hukum negara lain. Sebagai contoh,
buruh migran di Malaysia tampaknya akan sulit untuk memperoleh hak yang sama dalam
perlindungan bagi tenaga-kerja seperti yang tercantum dalam Section XII of the
Employment Act of 1955 yang berlaku di negara ini. Intervensi juga tidak mungkin
dilakukan menyangkut kebijakan pemerintah Malaysia yang sampai kini belum
menandatangani Konvensi mengenai Pengungsi tahun 1951. Tetapi setidaknya pemerintah
Indonesia melalui KJRI dan KBRI bisa terus memantau perlakuan majikan terhadap para
TKI tersebut. Berbagai imbauan memang sudah dilakukan, termasuk yang disampaikan oleh
LSM yang memiliki perhatian terhadap buruh migran di Malaysia seperti Tenaganita,
Migran Care, dan sebagainya. Memang masih disayangkan bahwa persepsi pemerintah di
Indonesia maupun di Malaysia terhadap LSM seringkali masih bersifat negatif. Sementara
itu masalah-masalah yang diungkapkan oleh LSM itu sendiri terkadang kurang objektif atau
kurang didukung dengan data yang lengkap.
Seperti telah disinggung, dari berbagai laporan dan kecenderungan pelanggaran hak
azasi manusia, yang perlu mendapat perhatian ialah banyaknya kasus yang menimpa TKI
yang bekerja sebagai pembantu rumah-tangga. Karena kebanyakan paspor mereka diambil
oleh majikan, sedangkan hampir sepanjang hari mereka bekerja untuk majikan,
kecenderungan pelanggaran hak azasi manusia lebih sering terjadi. Pelanggaran itu mulai
dari jam kerja yang melebihi takaran, penyekapan, gaji yang tidak dibayar penuh, pelecehan
secara verbal atau secara fisik, hingga pelecehan seksual atau penyiksaan. Itulah sebabnya,
seruan yang senantiasa disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti ILO, IOM,
Komisi HAM-PBB, dan Amnesty Internasional ialah perlunya membuat ketentuan atau
peraturan yang berbeda bagi para pembantu rumahtangga dibanding para buruh migran
lainnya. Salah satunya yang sampai sekarang belum terwujud ialah hak para buruh migran
itu untuk tetap memegang paspornya sehingga tidak rentan terhadap penyalahgunaan hak
azasi manusia serta tidak mudah melarikan diri untuk terjerumus menjadi pendatang haram.
Pemerintah Indonesia perlu mengupayakan agar pengiriman tenaga-kerja di luar
negeri disertai dengan peningkatan keterampilan atau keahlian yang memadai. Berbagai
persoalan yang timbul dari para TKI yang bekerja di luar-negeri pada dasarnya karena
rendahnya daya tawar mereka dari segi keterampilan, keahlian atau pengetahuan. Harus
diakui bahwa para TKI yang bekerja di Malaysia saat ini kebanyakan masih masuk ke jenisjenis
pekerjaan dalam kategori ”4D”, dirty, diminutive, difficult, dangerous. Pekerjaan yang
dijalani terbatas sebagai buruh bangunan, pembantu rumah-tangga, pekerja kebun, atau
jenis-jenis pekerjaan lain yang sudah tidak diminati oleh orang Malaysia. Dalam hal ini, kita
mungkin sudah ketinggalan dibanding pemerintah Filipina yang lebih mengutamakan
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pengiriman tenaga-kerja dengan tingkat keahlian menengah seperti perawat, sopir, tenaga
perkantoran, dan sebagainya. Maka masalah pelatihan dan peningkatan sumberdaya
manusia, disamping pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya di tanahair, adalah strategi
jangka-panjang yang harus senantiasa dijadikan perhatian utama para perumus kebijakan di
Indonesia.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia dan Indonesia banyak sekali perbedaan
namun sebagai negara dengan bentuk negara hukum terdapat pula persamapersaman,
dikarenakan system hukum kedua negara tersebut secara umum
memamang berbeda, Indonesia sebagai penganut sistim cicil law dari negaranegara
Barat (eropa continental) dengan bentuk negara Kesatuan, sedangkan
Malaysia penganut sistim common law dengan bentuk negara Federal. Persamaan
dari keduanya sama-sama mempunyai undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku bagi pekerja dan majikan / pengusaha setempat, perbedaannya adalah
Malaysia sebagai negara Penerima tenaga kerja dari luar negeri, sementara
Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja di luar negeri, sehingga di
Malaysia tidak terdapat peraturan undang-undang ketenagakerjaan yang khusus
mengatur tenaga kerja luar negeri, bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
Malaysia terikat ketentuan hukum yang berlaku di Malaysia.
b. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan Indonesia dan Malaysia terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia yaitu dengan melakukan nota kesepahaman /
Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia
2. Saran
a. Agar dilakukan harmonisasi antara kementerian yang berkaitan dengan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar negeri seperti kementerian Tenaga kerja dan
Tarnsmigrasi, Kementerian Luar negeri, Kementerian kesehatan dan Kementerian
Hukum dan Ham sebagai bagian dari pengurusan keimigrasian tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri sehingga dapat lebih terkontrol dan dapat mengawasi
tenaga kerja Indonesia di Malaysia
b. Adanya pengawasan dan sanksi keras bagi PJTKIS sebagai agen yang
memberangkatkan Tenaga Kerja Indonesia karena Indonesia sangat dekat dengan
Malaysia sehingga memungkinkan pemberangkatan illegal dilakukan oleh para
agen tersebut.
NEGARA INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENEGAKAN HAK ASASI
MANUSIA
Oleh :
Dedi Pahroji & Holyness N Singadimedja
A. Latar Belakang
Walau terjadi peningkatan jumlah imigrasi pekerja dari Indonesia, kerangka
kebijakan yang komprehensif dan lembaga yang efektif guna mengelola pekerja migran
Indonesia belum tersedia. Pada 2004 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri (untuk
selanjutnya akan disebut UU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran) telah disahkan
DPR. Kendati UU tersebut mengandung beberapa ketentuan yang mengagumkan, seperti
jaminan bahwa penempatan tenaga kerja akan dilaksanakan berdasarkan “persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, persamaan gender dan keadilan gender, anti-diskriminasi, dan
anti-perdagangan manusia” (Pasal 2 UU No.39 Tahun 2004) , UU tersebut memiliki
kelemahan konsep dan substansi. Contohnya, secara konsep UU tersebut telah dikritik karena
terfokus pada penempatan pekerja migran ketimbang perlindungan terhadap pekerja migran
tersebut.1 Dinilai dari substansinya, UU tersebut kurang jelas dalam beberapa hal seperti
penugasan tanggung jawab guna menegakkan hak-hak pekerja migran. Namun, aspek
terlemah dari UU ini adalah bahwa penegakkannya selama ini sangatlah kurang dan bahkan
tidak ada sama sekali. Sebagai hasil dari lemahnya hukum dan penegakannya dalam hal
pekerja migran, kasus-kasus pelecehan dan eksploitasi terhadap pekerja migran Indonesia
banyak terjadi di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja, pelatih, pemberi kerja, para pelaku
perdagangan manusia (trafficker) dan pejabat pemerintah yang tidak manusiawi. Kasus-kasus
ini terjadi pada setiap tahapan dari proses migrasi tenaga kerja: pra-keberangkatan, selama
bekerja di luar negeri dan setelah kembali.
Dari berbagai jumlah kasus yang menimpa TKI serta fakta belum selesainya
penanganan hukum atas kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak, terutama kasus-kasus
yang secara langsung bersinggungan dengan hukum, maka sudah selayaknya menimbulkan
berbagai pertanyaan mendasar tentang sejauh mana peranan dan kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap warga negaranya, sehingga dapat dijadikan cerminan untuk melihat
perlindungan yang dilakukan negara (dalam hal ini pemerintah) terhadap warganegara atas
segala bentuk penyiksaan hak asasinya. Hal ini menarik dikaji mengingat pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan keberadaan TKI seperti
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmennakertrans) No. 104 A Tahun
2002, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maupun UU No. 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU
PPTKILN), dan Memorandum Of Understansing (MOU) antara Malaysia dan Indonesia
yang telah diperbaharui pasca dicabutnya moratorium bagi TKI informal Indonesia ke
Malaysia, yang sampai sekarang dirasa masih kurang menampakkan kebijakan yang
menyentuh perlindungan terhadap TKI. Sorotan dari banyak pihak telah melahirkan
peraturan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan substansi yang hanya didominasi
1 KOPBUMI, Legal Analysis of The Law on the Placement and Protection of Indonesia Migrant Workers
overseas, Makalah Rancangan ILO, Jakarta, 2005, hal 2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
dengan aturan mengenai mekanisme operasional pengiriman dan penempatan. Sementara
substansi yang mengatur perlindungan hak-hak TKI ke luar negeri masih kurang
diperhatikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah system hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Malaysia di
bandingkan dengan system hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia bagi buruh migrant Indonesia di negara Malaysia dalam rangka
penegakan hak asasi manusia menurut UUD 1945 ?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriftif analitis menggunakan pendekatan yuridis
normatif , dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum yang digunakan untuk
menghasilkan perlindungan hukum bagi TKI LN sebagai dasar dalam UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang didukung dengan pendekatan
perbandingan (comparative approach) dengan Negara Malaysia yang memiliki Sistim Hukum
yang berbeda dengan negara Indonesia.
Kemudian melakukan analisis secara yuridis kualitatif, dengan menggunakan daya abstraksi dan
penafsiran hukum (interpretasi) untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk uraian-uraian
(deskripsi) dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif
D. Pembahasan
1. Sistem Hukum Ketenagakerjaan di Negara Malaysia dan Sistem Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia dalam Mewujudkan Penegakan Hak Asasi Buruh
Migran
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum
kebiasaan Inggris ( Common Law Sistem ) Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem
hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan atau Mahkamah Syari’ah) dan hukum
adat berbagai kelompok penduduk asli. Malaysia merupakan salah satu dari sekian
banyak (+ 19 negara ) Commonwealth Country atau negara-negara persemakmuran
Inggris. Semua negara-negara persemakmuran mengadopsi sistem hukum Inggris yang
biasa disebut dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau juga Common Law .
Malaysia memiliki sistem federal yang membagi kekuasaan pemerintahan
menjadi Pemerintahan Federal dan Pemerintahan Negara bagian Pembagian kekuasaan
ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Federal. Walaupun undang-undang dasar
menggunakan sistem federal namun sistem ini berjalan dengan kekuasaan yang besar
dari pemerintahan pusat.
Di Malaysia Konstitusi merupakan hukum yang berkedudukan paling tinggi.
Meskipun hukum Malaysia sangat dipengaruhi hukum Inggris tetapi dalam banyak hal
ternyata berbeda, misalnya Parlemen Malaysia berbeda dengan Parlemen Inggris,
Parlemen Inggris memegang kekuasaan tertinggi dan tanpa batas sedangkan parlemen
Malaysia tidak memiliki kekuasaan seperti itu. Malaysia merupakan negara Federal
dengan kostitusi tertulis yang kaku. Parlemen memperoleh kekuasaan dari konstitusi dan
dibagi diantara negara federal denga negara-negara bagian.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Beberapa kewenangan dari Pemerintahan Federal adalah urusan luar negeri,
pertahanan, keamanan nasional, polisi, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur
dan administrasi keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan
industri, perkapalan, navigasi dan perikanan, komunikasi dan trasnsportasi, kinerja dan
kekuasaan federal, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan social.
Sistem pengadilan secara mendasar bersifat federal. Baik hukum federal maupun
negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya pengadilan Syari’ah yang
hanya terdapat pada negara bagian, yang menggunakan sistem Hukum Islam, bersama
dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat.
Selanjutnya juga terdapat Sessions Courts (pengadilan sessi) dan Magistrates’ Courts
(Pengadilan Magistrat). Pengadilan tinggi dan tingkat pengadilan di bawahnya memiliki
yurisdiksi dan kewenangan yang diatur oleh hukum federal. Mereka juga tidak memiliki
yurisdiksi dalam segala hal yang berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan Syari’ah.
Beberapa kewenangan negara bagian diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
praktek agama Islam dalam negara, hak kepmilikan tanah, kewajiban pengambilan
tanah, izin pertambangan, pertanian dan eksploitasi hutan, pemerintahan kota, dan kerja
publik demi kepentingan negara. Terdapat juga beberapa kekuasaan yang berlaku secara
bersamaan diantaranya sanitasi, pengaliran dan irigasi, keselamatan dari kebakaran,
kependudukan dan kebudayaan serta olah raga. Ketika hukum federal dan hukum negara
bagian saling bertentangan maka hukum federallah yang dianggap berlaku.
Menteri yang bertanggung jawab atas undang-undang hubungan industrial dapat
mengajukan perselisihan antara para penyedia lapangan kerja dengan serikat
perdagangan pada pengadilan industri, dan direktur jenderal buruh dapat dipanggil untuk
mengatasi perselisihan mengenai gaji karyawan. Banyak undang-undang yang
menyediakan arbitrase, selanjutnya undang-undang arbitrase tahun 1952 menyediakan
peraturan untuk arbitrase domestik. Terdapat juga Pusat Regional untuk Arbitrase di
Kuala Lumpur yang menyediakan fasilitas untuk dilaksanakan arbitrase atas transaksi
komersial internasional.
Prinsip-prinsip yang meliputi hubungan antara majikan dengan pekerja di
Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :
1. Common law
2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia
3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil
Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari
Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah
benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua
negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus
untuk Malaysia.
Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan
Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta
Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut
ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di
Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam
undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi
kekosongan itu.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi
melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk
menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya “kontrak perkhidmatan” (perjanjian
kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan sebagainya.
Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut :
1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989
2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989
3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989
4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969
5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966
Seperti halnya undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara pada umumnya,
undang-undang ketenagakerjaan Malaysia mengatur ketentuan-ketentuan umum
berkaitan perlindungan bagi pekerja dan majikan / perusahaan seperti perjanjian kerja,
hak dan kewajiban buruh/pekerja dan majikan / pengusaha, jam kerja, upah, cuti /
istirahat, cuti bersalin, ketentuan tentang lembur, jaminan social, hak beribadah,
penghentian pekerjaan / PHK, serta pesangaon dan ketentuan-ketentuannya dan lainlain.
Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah Kementerian Pengurusan Sumber
Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar dengan Kementerian lain, seperti
Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia, Malaysia tidak
mengatur secara khusus perundang-undangan berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia
semua pekerja baik domestic maupun dari luar negara yang bekerja di Malaysia melalui
kontrak kerja yang sah antara pekerja dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta
Perkerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama
dengan Indonesia, malaysia tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan
dengan tenaga kerja informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai
tenaga kerja informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam
perundang-undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan
aturan keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia
untuk batas waktu tertentu.
Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan dengan masa kerja,
upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara Indonesia dalam membuat
perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G to G (government to
government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini ketentuannya lebih berpihak kepada
Majikan. MoU antara pemerintah merupakan legalisasi TKI untuk dapat bekerja di
Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-hak dan kewajiban TKI.
b. Sistem KelembagaanKetenagakerjaan Indonesia
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga pemerintah
utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan penempatan tenaga
kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Departemen juga mengawasi pelatihan keterampilan, pembekalan wajib prakeberangkatan
dan menyediakan sejumlah kecil atase tenaga kerja di kedutaan besar
Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan
dengan mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen Kesehatan bertanggungjawab
atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.
UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pembentukan Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (BNPP-TKLN).
Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga Kerja baru-baru ini telah meyakinkan
masyarakat bahwa badan ini akan mulai beroperasi pada Oktober 2006. BNPP-TKLN akan
terdiri dari departemen-departemen pemerintah yang terkait, dan akan bertanggungjawab
langsung pada presiden. Badan ini akan memiliki tanggung jawab untuk “menerapkan
kebijakan-kebijakan dalam bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri secara terkoordinir dan terpadu” (Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004). Hal ini akan
meliputi, interalia, rekrutmen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, keberangkatan dan
perlindungan dalam negara.
Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten dalam menerapkan UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran tidak
dibuat dengan jelas. UU tersebut tidak menjelaskan hubungan antara BNPP-TKLN dan
tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Saat ini, kesepakatan penempatan kerja
haruslah didaftarkan dengan wewenang Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan
dibentuk di ibukota-ibukota provinsi. Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan
pelatihan tampaknya dibagi secara informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda;
hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan penting lainnya juga tidak tercakup dalam
UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah sekarang berlaku di Indonesia, maka penting bagi
UU tersebut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan tanggung jawab tiap tingkat
pemerintahan dalam mengelola proses migrasi. Pembagian wewenang terakhir haruslah
berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu
sisi dengan sumber daya manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi
lainnya.
Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di luar negeri
dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka peraturan yang ada sekarang
adalah untuk mengawasi agen agen ini melalui skema perizinan yang disebut sebagai Surat
Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau SIPPTKI.
Saat ini ada sekitar 400 PJTKI dengan izin beroperasi di Indonesia dan 90% di
antaranya tergabung dalam APJATI. Selain dari PJTKI yang memiliki izin resmi,
diperkirakan sekurangnya ada 800 perusahaan penyalur jasa tenaga kerja yang ilegal di
Indonesia. Sebagian besar dari perusahaan ilegal ini sebenarnya dikontrak oleh PJTKI resmi
untuk menyelenggarakan kampanye rekrutmen awal mereka.
c. Persamaan dan Perbedaan Sistem Hukum Ketenagakerjaan pada Negara Malaysia
dan Indonesia
Indonesia dan Malaysia merupakan 2 negara dengan Sistim Hukum yang berbeda.
Namun prinsip-prinsip umum mengenai ketenagakerjaan juga berlaku bagi negara Malaysia
maupun Indonesia sebagai negara anggota International Labour Organitation.
Negara Malaysia tidak termasuk negara yang mengirimkan warga negaranya secara
formal untuk bekerja di negara lain, melalui perjanjian antar negara sebagai negara pengirim
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
tenaga kerja seperti Indonesia. Warga negara Malaysia yang bekerja di negara lain bekerja
sebagai Tenaga Kerja Asing yang mempunyai keahlian tertentu pada sektor formal, berbeda
dengan negara Indonesia yang dengan jelas mengirimkan warganya sebagai tenaga kerja di
luar negeri baik sektor formal maupun pada sektor informal, sehingga Malaysia tidak
memiliki undang-undang khusus tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri, termasuk
badan / instansi pemerintah khusus yang menangani tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.
Peraturan mengenai ketenagakerjaan di Malaysia merupakan wewenang Kementerian
Pengurusan Sumber Manusia di bawah Perdana Menteri, sama dengan Kementerian Tenaga
kerja dan transmigrasi di Indonesia sebagai pembantu presiden dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Sebagai negara dengan bentuk federal, ketenagakerjaan merupakan
wewenang langsung federal bukan merupakan wewenang negara bagian, sehingga apabila
terjadi perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan pada peradilan federal yang khusus
menangani perburuhan atau perselisihan industrial, perbedaannya dengan negara Indonesia,
di Indonesia terdapat peradilan hubungan industrial pada daerah provinsi di bawah
Mahkamah Agung yang untuk beberapa perselisihan sifatnya final dan binding.
Terhadap kasus-kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja Indonesia yang banyak terjadi
di Malaysia, mereka terjerat hukum berdasarkan perbuatan mereka yaitu hukum pidana, baik
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja maupun majikan, sehingga pengadilan yang
berwenang untuk meyelesaikan perkara tersebut tidak melalui peradilan hubungan industrial,
kecuali berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban pekerja dan majikan yang jelas tertera di
dalam kontrak perjanjian yang telah dilanggar oleh salah satu pihak, di luar pelanggaran
hukum pidana, diselesaikan melalui peradilan hubungan industrial (dalah hal ini hanya
berlaku pada tenaga kerja formal yang bekerja di Malaysia) begitu juga pada peradilan
Indonesia dibedakan dengan jelas setiap kompetensi masing-masing peradilan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum.
Perwakilan negara Indonesia di Malaysia membentuk satuan khusus untuk membantu
penyelesaian masalah TKI (terutama yang bekerja di sektor informal) yang merupakan
gabungan dari berbagai perwakilan dari departemen tenaga kerja, departemen luar negeri,
dan kepolisian RI. Sementara untuk TKI yang mengalami permasalahan hukum di
pengadilan diberikan pendampingan / bantuan hukum. Untuk menangani penyelesaian
sengketa tenaga kerja di Malaysia digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam The
Industrial Court Ordinance of 1948 dan Industrial Relations Act 1967. Dalam ketentuan
tersebut seperti halnya negara-negara maju yang menggunakan arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa, maka Malaysia pun mempunyai sistim peradilan untuk
ketenagakerjaan menggunakan lembaga arbitrase dengan tata cara yang hamper serua yang
dikenal dengan istilah Industrial Court.
b. Perlindungan Hukum yang diberikan Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia
bagi Buruh Migrant Indonesia di Negara Malaysia dalam Rangka Penegakan Hak
Hsasi Manusia menurut UUD 1945
Kerja merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu penghidupan
yang layak. Pekerjaan sangat berarti dalam upaya kelangsungan hidup dan mengaktualisasi
diri sehingga dapat lebih bermakna dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya2. Hak bagi
setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga
2 Muslan Abdurrahman.2006.Malang.Ketidakpatuhan TKI Sebuah Efek Diskriminasi Hukum.UMM Press.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pekerjaan mempunyai makna yang sangat berarti dalam kehidupan manusia. Hal ini
merupakan salah satu bentuk hak yang melekat didalam diri bangsa Indonesia, sebagaimana
yang diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan IV UUD 1945 Pasal 27
ayat (1) menyatakan “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian”. Ketentuan ini diperkuat dengan pasal 28 D ayat (2) menyatakan
“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan pelakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”.
Oleh karena hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah sebagai
penyelenggara pembangunan berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negaranya agar
dapat berkerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya, dan harus
dilakukan seoptimal mungkin oleh Negara. Dengan demikian, hak setiap warga Negara
dalam memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi. Artinya, Indonesia dituntut untuk melakukan
perencanaan terhadap hal tersebut untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar terciptanya
kesadaran atas kewajiban suatu negara3. Akan tetapi faktanya, Sampai saat ini di Indonesia
lapangan pekerjaan sangat terbatas. Karena Indonesia belum mampu menyediakan pekerjaan
seperti yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, sehingga secara ekonomi masyarakat
Indonesia banyak yang memprihatinkan. Disamping itu kesatuan dan kesatuan harus dijaga
dan stabilitas syarat bagi usaha-usaha lain dalam pembangunan ekonomi4 dan mengunakan
strategi-strategi dalam memecahkan persoalan bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia.5
Dalam ketentuan Undang-Undang, penempatan tenaga kerja Indonesia dibagi atas 2
yaitu tenaga kerja dalam negeri dan tenaga kerja luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri
telah mempunyai kekuatan dalam perlindungan ketenagakerjaan dapat dilihat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Selanjutnya, Undang-Undang Republik ndonesia No. 39 tahun 2004 yang mengatur tentang
penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri di
awasi secara langsung oleh Negara karena buruh berkerja dalam kedaulatan Negara
Republik Indonesia, sedangkan Tenaga Kerja Indonesia yang berada di luar negeri
perlindungan hukum mereka adalah MoU (Memorandum of Understanding) dan kedutaan
besar.
Perlindungan terhadap hak-hak dasar TKI di Malaysia telah dibentuk oleh pemerintah.
Bentuk perlindungan yang sebelumnya telah disepakati Indonesia dan Malaysia adalah
dengan membuat perjanjian berupa Memorandum of Understanding (MoU) TKI formal,
yakni TKI yang berkerja disektor pertambangan, pertanian dan pabrik kemudian
Memorandum of Understanding TKI informal, yakni TKI yang berkerja pada sektor rumah
tangga. Memorandum of Understanding (MoU) perlindungan TKI formal ditandatangani
pada 10 mei 2004 untuk menggantikan kedudukan nota penempatan TKI formal. Sebelum
ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) penempatan TKI di Malaysia
menggunakan “pertukaran nota mengenai prosedur penempatan TKI di Indonesia selain dari
penata laksana rumah tangga”. Kemudian penandatanganan Memorandum of Understanding
(MoU) tentang “The recruitment and placementof Indonesian domestic workers” dilakukan
di Bali pada 13 mei 2006. Berdasarkan konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
3Adrian Sutedi.2009.Hukum Perburuhan.sinar grafika.hal.1
4 Juwon Sudarsono..Integritas,Demokrasi,dan Pembangunan.hal.147.
5Amir Santoso dan Riza Sahbudi. 1993. Jakarta. Perspektif pembangunan Politik Indonesia. Dian
Lestari Grafika.hal 148
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
1969 pasal 6 menyinggung kemampuan negara untuk membuat perjanjian dimana
dinyatakan : “Setiap Negara berdaulat memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian”.6
Harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk membuat kebijakan yang tepat dan
komprehensif bagi permasalahan TKI di luar-negeri. Disamping karena penanganan TKI
melibatkan banyak institusi pemerintah maupun non-pemerintah, kerjasama yang baik harus
dijalin antara kedua negara (Indonesia dan Malaysia) sedangkan sistem, prosedur serta
situasi dalam negeri yang harus dihadapi juga berlain-lainan. Yang perlu diperhatikan ialah
bahwa banyak masalah yang sebenarnya bisa dipecahkan dengan sendirinya apabila terdapat
itikad baik dari semua pihak untuk membangun kerjasama yang adil dan saling
menguntungkan. Sebaliknya, perlu juga diantisipasi bahwa semua pihak yang terlibat di
dalam urusan menyangkut TKI mungkin juga memiliki kepentingan-kepentingan sempit dan
terkadang tidak segan-segan mengorbankan kepentingan orang lain. Kemungkinan adanya
penyalahgunaan, kecurangan, atau tindak kejahatan bisa terjadi di semua titik yang
menyangkut jalur pengiriman maupun pemulangan buruh migran yang bekerja di luarnegeri.
Prinsipnya ialah there always goods and bads in everyone. Pada setiap lembaga atau
institusi, tentu terdapat banyak niat baik dan mungkin ada beberapa orang yang berniat
buruk. Tetapi yang harus dihindari ialah supaya kerjasama semua pihak akan dapat
menghasilkan aturan main yang adil dan mencegah munculnya maksud-maksud buruk oleh
pihak tertentu.
Mengingat panjangnya jalur yang harus ditempuh oleh seorang buruh migrant dalam
mengurus segala hal yang menyangkut pekerjaannya di luar-negeri, hal yang paling krusial
ialah informasi yang cukup dan objektif mengenai prosedur, jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, kontrak kerja yang disepakati, serta hak dan kewajiban bagi semua pihak.
Kelemahan yang masih ada sejauh ini ialah bahwa lembaga atau instansi pemerintah yang
bertugas menangani permasalahan di lapangan baru bergerak kalau sudah ada kasus yang
disoroti oleh publik. Dari masalah yang timbul ketika amnesti dari pihak pemerintah
Malaysia berakhir pada tahun 2005, misalnya, terdapat kesan bahwa pemerintah lebih sering
bertindak sebagai pemadam kebakaran. Berbagai laporan dari Human Rights Watch (HRW)
mengungkapkan bahwa buruh migran dari Indonesia adalah termasuk yang paling rendah
dukungannya, baik dari pemerintah, LSM maupun dari public di tanah air. Ini sangat
berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Filipina, misalnya, yang
memberi perhatian lebih serius dan benar-benar memperlakukan buruh migran itu sebagai
”pahlawan devisa”. Alangkah baiknya apabila pola kebijakan pemerintah Indonesia diubah
sehingga bersifat lebih melindungi dan mengambil langkah - langkah preventif sebelum
gejolak dan masalah di lapangan muncul dengan lebih memberdayakan pemerintahan daerah
dalam membuat regulasi sendiri berkaitan buruh migrant di daerahnya sebagaimana amanat
undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
Upaya untuk memperbaiki proses rekrutmen dan pelatihan sebenarnya sudah
diprogramkan oleh pemerintah sejak awal ketika seorang calon TKI berniat untuk bekerja di
luar-negeri. Tetapi sejauh ini tampaknya masih banyak lubang-lubang yang menjadi titik
lemah dalam proses rekrutmen tersebut. Karena banyak calon TKI yang tidak percaya
dengan sejumlah PJTKI, yang sering dilakukan ialah justru mengambil jalur illegal sehingga
menimbulkan masalah di kemudian hari. Maka tindakan tegas terhadap PJTKI liar yang
6 Soemaryo Suryokusumo.2003. Yogyakarta. Pembuatan dan Berlakunya Perjanjian.UGM. hal.2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
sekadar ingin memperoleh keuntungan cepat dari calon TKI kiranya masih perlu terus
ditingkatkan. Beberapa peraturan perundangan sebenarnya sudah menggariskan pentingnya
koordinasi lintas departemen untuk menangani TKI yang lingkup persoalannya sangat luas,
misalnya yang tertuang di dalam Inpres No.4 tahun 2004. Tetapi tampaknya kebijakan
sektoral masih terjadi apabila sejumlah TKI menghadapi masalah di dalam maupun di luar
negeri. Komitmen pemerintah sekarang ini untuk melengkapi pranata yang memadai bagi
perlindungan TKI di luar negeri adalah sebuah langkah terobosan.
Selanjutnya, kerjasama yang erat antara Depnakertrans dan Deplu untuk perlindungan
TKI perlu terus dibangun dan semestinya menjadi program prioritas yang membutuhkan
langkah-langkah harmonisasi. diperlukan komitmen lebih kuat untuk melindungi TKI yang
sedang bekerja di luar-negeri. Intervensi memang tidak mungkin dilakukan secara langsung
karena sebagai buruh migran mereka ada di wilayah hukum negara lain. Sebagai contoh,
buruh migran di Malaysia tampaknya akan sulit untuk memperoleh hak yang sama dalam
perlindungan bagi tenaga-kerja seperti yang tercantum dalam Section XII of the
Employment Act of 1955 yang berlaku di negara ini. Intervensi juga tidak mungkin
dilakukan menyangkut kebijakan pemerintah Malaysia yang sampai kini belum
menandatangani Konvensi mengenai Pengungsi tahun 1951. Tetapi setidaknya pemerintah
Indonesia melalui KJRI dan KBRI bisa terus memantau perlakuan majikan terhadap para
TKI tersebut. Berbagai imbauan memang sudah dilakukan, termasuk yang disampaikan oleh
LSM yang memiliki perhatian terhadap buruh migran di Malaysia seperti Tenaganita,
Migran Care, dan sebagainya. Memang masih disayangkan bahwa persepsi pemerintah di
Indonesia maupun di Malaysia terhadap LSM seringkali masih bersifat negatif. Sementara
itu masalah-masalah yang diungkapkan oleh LSM itu sendiri terkadang kurang objektif atau
kurang didukung dengan data yang lengkap.
Seperti telah disinggung, dari berbagai laporan dan kecenderungan pelanggaran hak
azasi manusia, yang perlu mendapat perhatian ialah banyaknya kasus yang menimpa TKI
yang bekerja sebagai pembantu rumah-tangga. Karena kebanyakan paspor mereka diambil
oleh majikan, sedangkan hampir sepanjang hari mereka bekerja untuk majikan,
kecenderungan pelanggaran hak azasi manusia lebih sering terjadi. Pelanggaran itu mulai
dari jam kerja yang melebihi takaran, penyekapan, gaji yang tidak dibayar penuh, pelecehan
secara verbal atau secara fisik, hingga pelecehan seksual atau penyiksaan. Itulah sebabnya,
seruan yang senantiasa disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti ILO, IOM,
Komisi HAM-PBB, dan Amnesty Internasional ialah perlunya membuat ketentuan atau
peraturan yang berbeda bagi para pembantu rumahtangga dibanding para buruh migran
lainnya. Salah satunya yang sampai sekarang belum terwujud ialah hak para buruh migran
itu untuk tetap memegang paspornya sehingga tidak rentan terhadap penyalahgunaan hak
azasi manusia serta tidak mudah melarikan diri untuk terjerumus menjadi pendatang haram.
Pemerintah Indonesia perlu mengupayakan agar pengiriman tenaga-kerja di luar
negeri disertai dengan peningkatan keterampilan atau keahlian yang memadai. Berbagai
persoalan yang timbul dari para TKI yang bekerja di luar-negeri pada dasarnya karena
rendahnya daya tawar mereka dari segi keterampilan, keahlian atau pengetahuan. Harus
diakui bahwa para TKI yang bekerja di Malaysia saat ini kebanyakan masih masuk ke jenisjenis
pekerjaan dalam kategori ”4D”, dirty, diminutive, difficult, dangerous. Pekerjaan yang
dijalani terbatas sebagai buruh bangunan, pembantu rumah-tangga, pekerja kebun, atau
jenis-jenis pekerjaan lain yang sudah tidak diminati oleh orang Malaysia. Dalam hal ini, kita
mungkin sudah ketinggalan dibanding pemerintah Filipina yang lebih mengutamakan
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pengiriman tenaga-kerja dengan tingkat keahlian menengah seperti perawat, sopir, tenaga
perkantoran, dan sebagainya. Maka masalah pelatihan dan peningkatan sumberdaya
manusia, disamping pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya di tanahair, adalah strategi
jangka-panjang yang harus senantiasa dijadikan perhatian utama para perumus kebijakan di
Indonesia.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia dan Indonesia banyak sekali perbedaan
namun sebagai negara dengan bentuk negara hukum terdapat pula persamapersaman,
dikarenakan system hukum kedua negara tersebut secara umum
memamang berbeda, Indonesia sebagai penganut sistim cicil law dari negaranegara
Barat (eropa continental) dengan bentuk negara Kesatuan, sedangkan
Malaysia penganut sistim common law dengan bentuk negara Federal. Persamaan
dari keduanya sama-sama mempunyai undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku bagi pekerja dan majikan / pengusaha setempat, perbedaannya adalah
Malaysia sebagai negara Penerima tenaga kerja dari luar negeri, sementara
Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja di luar negeri, sehingga di
Malaysia tidak terdapat peraturan undang-undang ketenagakerjaan yang khusus
mengatur tenaga kerja luar negeri, bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
Malaysia terikat ketentuan hukum yang berlaku di Malaysia.
b. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan Indonesia dan Malaysia terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia yaitu dengan melakukan nota kesepahaman /
Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia
2. Saran
a. Agar dilakukan harmonisasi antara kementerian yang berkaitan dengan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar negeri seperti kementerian Tenaga kerja dan
Tarnsmigrasi, Kementerian Luar negeri, Kementerian kesehatan dan Kementerian
Hukum dan Ham sebagai bagian dari pengurusan keimigrasian tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri sehingga dapat lebih terkontrol dan dapat mengawasi
tenaga kerja Indonesia di Malaysia
b. Adanya pengawasan dan sanksi keras bagi PJTKIS sebagai agen yang
memberangkatkan Tenaga Kerja Indonesia karena Indonesia sangat dekat dengan
Malaysia sehingga memungkinkan pemberangkatan illegal dilakukan oleh para
agen tersebut.
Tentang Hukum Perundangan di Malaysia
Prinsip-prinsip yang meliputi hubungan antara majikan dengan pekerja di
Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :
1. Common law
2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia
3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil
Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari
Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah
benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua
negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus
untuk Malaysia.
Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan
Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta
Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut
ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di
Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam
undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi
kekosongan itu.
Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :
1. Common law
2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia
3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil
Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari
Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah
benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua
negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus
untuk Malaysia.
Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan
Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta
Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut
ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di
Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam
undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi
kekosongan itu.
Tentang Franchise
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FRANCHISHOR DAN FRANCHISEE DALAM PERJANJIAN FRANCHISE
Ruauw, Merry T. J. (2013) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FRANCHISHOR DAN FRANCHISEE DALAM PERJANJIAN FRANCHISE. Jurnal Hukum Unsrat , I (1). pp. 111-119. ISSN 1410-2358
Franchise merupakan salah satu usaha untuk menciptakan iklim perekonomian yang baik bagi masyarakat. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan pada syarat-syarat yang telah disetujui (dalam hubungan yang saling menguntungkan). Konsep Bisnis ini pada dasarnya merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Pemilik metode dinamakan dengan franchisor sedangkan pihak yang diberi hak untuk menggunakan metode tersebut dinamakan dengan franchisee. Bentuknya yang banyak ditemui saat ini, seperti binis memperluas jaringan-jaringan usaha merupakan suatu fenomena bisnis yang baru. Sistim ini sudah berkembang di Indonesia walaupun belum ada undang-undang yang mengatur hal ini dengan jelas yang ada saat ini barulah peraturan pemerintah keputusan menteri. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: tentang bagaimana pelaksanaan perjanjian franchise di Indonesia, dan juga tentang bagaimana perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian franchise yaitu franchisor dan franchisee. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji pelaksanaan perjanjian franchise di indonesia dan juga Untuk menganalisis perlindungan hukum bagi franchisor dan franchisee dalam perjanjian franchise. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yaitu mendeskripsikan dan melukiskan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan fakta-fakta yang berkitatan dengan kontrak franchise, kemudian dianalisis secara kualitatif. Adapun hasil penelitian yaitu pelaksanaan perjanjian frien.. belum berjalan sebagai mana mestinya berdasarkan peraturan yang ada. Perjanjian franchise sampai saat ini belum memberi jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya,
Item Type:
Article
Uncontrolled Keywords:
Franchishor, Franchisee, Franchise
Subjects:
K Law > K Law (General)
Divisions:
Fakultas Hukum > Bidang Ilmu Hukum
Depositing User:
Steven Ch. Kaunang
Date Deposited:
04 Dec 2013 10:38
Last Modified:
04 Dec 2013 10:38
URI:
http://repo.unsrat.ac.id/id/eprint/394
Ruauw, Merry T. J. (2013) PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP FRANCHISHOR DAN FRANCHISEE DALAM PERJANJIAN FRANCHISE. Jurnal Hukum Unsrat , I (1). pp. 111-119. ISSN 1410-2358
Franchise merupakan salah satu usaha untuk menciptakan iklim perekonomian yang baik bagi masyarakat. Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada penjual eceran untuk menggunakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan pada syarat-syarat yang telah disetujui (dalam hubungan yang saling menguntungkan). Konsep Bisnis ini pada dasarnya merupakan sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada konsumen. Pemilik metode dinamakan dengan franchisor sedangkan pihak yang diberi hak untuk menggunakan metode tersebut dinamakan dengan franchisee. Bentuknya yang banyak ditemui saat ini, seperti binis memperluas jaringan-jaringan usaha merupakan suatu fenomena bisnis yang baru. Sistim ini sudah berkembang di Indonesia walaupun belum ada undang-undang yang mengatur hal ini dengan jelas yang ada saat ini barulah peraturan pemerintah keputusan menteri. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu: tentang bagaimana pelaksanaan perjanjian franchise di Indonesia, dan juga tentang bagaimana perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian franchise yaitu franchisor dan franchisee. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengkaji pelaksanaan perjanjian franchise di indonesia dan juga Untuk menganalisis perlindungan hukum bagi franchisor dan franchisee dalam perjanjian franchise. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yaitu mendeskripsikan dan melukiskan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan fakta-fakta yang berkitatan dengan kontrak franchise, kemudian dianalisis secara kualitatif. Adapun hasil penelitian yaitu pelaksanaan perjanjian frien.. belum berjalan sebagai mana mestinya berdasarkan peraturan yang ada. Perjanjian franchise sampai saat ini belum memberi jaminan perlindungan hukum bagi para pihak yang terkait didalamnya,
Item Type:
Article
Uncontrolled Keywords:
Franchishor, Franchisee, Franchise
Subjects:
K Law > K Law (General)
Divisions:
Fakultas Hukum > Bidang Ilmu Hukum
Depositing User:
Steven Ch. Kaunang
Date Deposited:
04 Dec 2013 10:38
Last Modified:
04 Dec 2013 10:38
URI:
http://repo.unsrat.ac.id/id/eprint/394
Tentang Mentaly Retained
International Human Rights Law
The cornerstone of human rights is respect for the inherent dignity of all human beings and the inviolability of the human person.54 These principles cannot be squared with the death penalty, a form of punishment unique in its cruelty and finality, and a punishment inevitably and universally plagued with arbitrariness, prejudice, and error.
Recognition that the death penalty violates basic human rights has fueled a growing movement to abolish capital punishment around the world. Members of the European Union, for example, are united in their opposition to the death penalty in all circumstances, considering it an "inhuman, medieval form of punishment and as unworthy of modern societies."55 Out of the world's nearly 200 countries, 108 have rejected judicial executions in law or practice. 56 Less than thirty carry out executions in any given year. Although the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) does not outlaw capital punishment outright, it specifically prohibits cruel and inhuman punishment and arbitrary executions, and limits capital punishment to "the most serious crimes." Forty-one countries have signed a Second Optional Protocol to the ICCPR by which they agree not to execute anyone and to take the necessary steps to abolish the death penalty.57
The practice of executing people of diminished culpability -- including people with mental retardation -- is particularly abhorrent. In recent years, the U.N. special rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions has received reports of the execution of people with mental retardation in only three countries -- Japan, Kyrgyztan, and the United States.58
Authoritative interpretations and applications of the ICCPR have established that respect for basic human rights precludes judicial killing of offenders with mental retardation. Thus, for example, a 1989 United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) resolution recommended "eliminating the death penalty for persons suffering from mental retardation or extremely limited mental competence."59 The U.N. Commission on Human Rights adopted resolutions in 1999 and 2000 urging states that retain the death penalty not to impose it "on a person suffering from any form of mental disorder," a term that includes both the mentally ill and the mentally retarded.60
The U.N. special rapporteur on extrajudicial, summary, or arbitrary executions has repeatedly criticized the practice of imposing the death penalty on mentally retarded offenders. In 1998, for example, he criticized the United States for executing people with mental retardation in contravention of relevant international standards.61 In his report, he stated:
Because of the nature of mental retardation, mentally retarded persons are much more vulnerable to manipulation during arrest, interrogation, and confession. Moreover, mental retardation appears not to be compatible with the principle of full criminal responsibility.62
The special rapporteur's most recent report urged governments that continue to enforce death penalties "to take immediate steps to bring their domestic legislation and legal practice into line with international standards prohibiting the imposition of death sentences in regard to minors and mentally ill or handicapped persons."63
In 1992, the United States became a party to the ICCPR. It entered a reservation to the treaty, however, asserting its authority to use capital punishment to the extent permitted under the U.S. Constitution. The U.S. did agree, however, that it would not execute pregnant women, as prohibited by the ICCPR.
United States Law
U.S. constitutional law permits the execution of offenders with mental retardation. In the 1989 case of Penry v. Lynaugh, the U.S. Supreme Court reviewed the constitutionality of the death sentence of Johnny Paul Penry, a man with mental retardation who was convicted of raping, beating, and fatally stabbing a young woman in Texas. A sharply divided court decided that the execution of persons with mental retardation did not constitute cruel and unusual punishment as prohibited by the Eighth Amendment to the U.S. Constitution.64 The court reversed Penry's death sentence, however, and ordered a new trial because the judge's instructions to the jury had not permitted it to "consider and give effect to the mitigating evidence of Penry's mental retardation and abused background by declining to impose the death penalty."65
In deciding on the constitutionality of applying the death penalty to persons with mental retardation, Supreme Court Justice Sandra Day O'Connor, writing for the majority, noted that the Eighth Amendment prohibits punishments that were prohibited historically as well as those that run counter to "evolving standards of decency that mark the progress of a maturing society."66 Looking primarily to the "objective evidence" of federal and state legislation to ascertain how the nation viewed the execution of persons with mental retardation, Justice O'Connor concluded that "the two state statutes prohibiting execution of the mentally retarded, even when added to the 14 states that have rejected capital punishment completely, do not provide sufficient evidence at present of a national consensus" against such executions. 67 Justice O'Connor also ruled there was insufficient evidence that all persons with mental retardation lack the capacity to act with the degree of culpability associated with the death penalty. 68
In a separate opinion, Justice Brennan concurred with Justice O'Connor's analysis of the constitutional flaws in the Penry jury's sentencing instructions, but he strongly dissented from her reasoning and conclusion on the broader question of the constitutionality of executing persons with mental retardation. Justice Brennan argued that all persons with mental retardation, by definition, have significant limitations on their intellectual abilities and a reduced ability to function in society. He concluded, "The impairment of a mentally retarded offender's reasoning abilities, control over impulsive behavior, and moral development in my view limits his or her culpability so that, whatever other punishment might be appropriate, the ultimate penalty of death is always and necessarily disproportionate to his or her blameworthiness and hence is unconstitutional."69 Justice Brennan also insisted that the consideration of mental retardation as a mitigating factor in sentencing is inadequate to guarantee that a person " who is not fully blameworthy for his or her crime because of a mental disability does not receive the death penalty."70
Justice Brennan argued in addition that the execution of offenders with mental retardation violates the Eighth Amendment because such executions do not measurably further the penal goals of either retribution or deterrence. He reasoned that retribution is not furthered because the death penalty is disproportionate to the culpability of persons with mental disabilities; and, deterrence cannot be furthered because the intellectual impairments of persons with mental retardation preclude their ability to weigh the possibility of the death penalty in calculating different courses of action. As a result, "the execution of mentally retarded individuals is `nothing more than the purposeless and needless imposition of pain and suffering.'"71
Since the Penry decision, the number of death penalty states barring the execution of persons with mental retardation has grown to thirteen. 72 (Twelve states prohibit the death penalty for all persons, regardless of mental ability).73 The U.S. Congress has also prohibited application of the death penalty to federal defendants with mental retardation.74 Efforts to secure legislation to prohibit the execution of the mentally retarded are currently underway in several additional states, including Florida, Missouri, Nevada, North Carolina, Oklahoma and Texas. Public opinion against executing persons with mental retardation is strong: polls show upwards of 60 percent consistently opposed to such executions.75
Today, the two oldest and largest professional organizations working in the area of mental retardation, the Arc and the American Association on Mental Retardation, oppose the execution of persons with mental retardation, as do numerous other mental disability groups.76 The Arc summarizes its position as follows: "Existing case-by-case determinations of competence to stand trial, criminal responsibility, and mitigating factors at sentencing have proved insufficient to protect the rights of individuals with mental retardation. The presence of mental retardation by definition raises so many possibilities of miscommunication, misinformation, and an inadequate defense that the imposition of the death penalty is unacceptable."77The American Bar Association in 1989 adopted a recommendation opposing the execution of persons with mental retardation and calling for legislation banning such executions.78
All state-sponsored killings are abhorrent. In addition to all of the reasons for abolishing the death penalty completely, there are at least four justifications for specific legislative prohibitions against the execution of persons with mental retardation: 1) capital trials of the mentally retarded have an even higher than normal risk of the miscarriage of justice; 2) the death penalty is disproportionately severe punishment, and hence unjustifiably cruel, when levied on persons whose mental disability limits their moral culpability; 3) the case by case sentencing process does not ensure that persons with mental retardation will be spared capital punishment; and 4) subjecting the mentally retarded to state-sponsored killing is not necessary to advance the purposes ostensibly served by the death penalty. These justifications are explored in the following chapters.
54 Universal Declaration of Human Rights, adopted by U.N. General Assembly Resolution 217A(III), December 10, 1948.
55 See, e.g., Statement of Rt. Hon. Chris Patten, delivered to European Parliament, October 25, 2000; Declaration by President, European Union, February 8, 2000; and other European Union statements on the death penalty available on the European Union website, www.european.eu.int.
56 See Death Penalty Information Center website for updated information on the death penalty internationally, www.deathpenaltyinfo.org.
57 U.N. General Assembly, "Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty," G.A. res. 44/128, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) at 207, A/44/49 (1989), entered into force July 11, 1991.
58 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1997/60, para. 89 (1996); U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1995/61, para. 380 (1994); U.N. Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, "Capital punishment and implementation of the safeguards guaranteeing the protection of the rights of those facing the death penalty: Report of the Secretary-General," E/CN.15/1996/19, para. 74, (1996).
59 U.N. Economic and Social Council resolution 1989/64, "Implementation of the safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty," ESC/RES/1989/64, adopted May 1989.
60 U.N. Commission on Human Rights Resolution, "Question of the Death Penalty," E/CN.4/RES/1999/61, adopted April 28, 1999; U.N. Commission on Human Rights Resolution, "The Question of the death penalty", E/CN.4/RES/2000/65, adopted April 27, 2000.
61 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1998/68/Add.3, para. 145 (1998).
62 Ibid., para. 58.
63 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report of the special rapporteur," E/CN.4/2000/3, para. 97 (2000),.
64 Penry v. Lynaugh, 492 U.S. 302 (1989).
65 Ibid., 492 U.S. at 328. The jury was to determine whether to impose the death penalty by answering three questions: "Did Penry act deliberately when he murdered Pamela Carpenter? Is there a probability that he will be dangerous in the future? Did he act unreasonably in response to provocation." 492 U.S. at 319.
66 Ibid., 492 U.S. at 330 (citations omitted).
67 Ibid., 492 U.S. at 334.
68 Ibid., 492 U.S. at 336-337.
69 Ibid., 492 U.S. at 345.
70 Ibid., 492 U.S. at 346.
71 Ibid., 492 U.S. at 348 (Brennan, J. dissenting) (citations omitted).
72 Arkansas, Colorado, Georgia, Indiana, Kansas, Kentucky, Maryland, Nebraska, New Mexico, New York, South Dakota, Tennessee, and Washington all prohibit such executions. New York state forbids the execution of the mentally retarded except in the case of a prisoner who commits murder. See Death Penalty Information Center at www.deathpenaltyinfo.org, visited February 6, 2001.
73 Alaska, Hawaii, Iowa, Maine, Massachusetts, Michigan, Minnesota, North Dakota, Rhode Island, Vermont, West Virginia, and Wisconsin as well as the District of Columbia prohibit the death penalty.
74 The Anti-Drug-Abuse Amendments Act of 1988 states that a "sentence of death shall not be carried out upon a person who is mentally retarded." 21 U.S.C. §848(1). In 1994, Congress passed the Violent Crime Control and Law Enforcement Act, which expanded applicability of the federal death penalty but retained the prohibition on the execution of persons with mental retardation. 18 U.S.C. §3596(c).
75 See Bonner and Rimer, "Executing the Mentally Retarded." In addition to the polls cited in footnote 3 above, see the results of the sixteen polls included in Denis W. Keyes and William J. Edwards, "Mental Retardation and the Death Penalty: Current Status of Exemptions Legislation," 21 Mental and Physical Disabilities Law Reporter 687, 688 (1997).
76 The AAMR submitted an amicus brief of to the U.S. Supreme Court in Penry v. Lynaugh urging a constitutional prohibition on the execution of persons with mental retardation. Ten mental heath organizations joined the brief, including the American Psychological Association, the Association for Persons with Severe Handicaps, the American Association of University Affiliated Programs for the Developmentally Disabled, the National Association of Superintendents of Public Residential Facilities for the Mentally Retarded, and the Mental Health Project.
77 See The Arc, "Position Statement on Access to Justice and Fair Treatment under the Criminal Law," at www.thearc.org/position-statements.htm, visited February 20, 2001.
78 See Resolution of the ABA House of Delegates (Feb. 1989). See also American Bar Association, "Q & A's on the Death Penalty," December 1999, available at www.abanet.org/media/deathpenaltyqa, visited August 23, 2000.
The cornerstone of human rights is respect for the inherent dignity of all human beings and the inviolability of the human person.54 These principles cannot be squared with the death penalty, a form of punishment unique in its cruelty and finality, and a punishment inevitably and universally plagued with arbitrariness, prejudice, and error.
Recognition that the death penalty violates basic human rights has fueled a growing movement to abolish capital punishment around the world. Members of the European Union, for example, are united in their opposition to the death penalty in all circumstances, considering it an "inhuman, medieval form of punishment and as unworthy of modern societies."55 Out of the world's nearly 200 countries, 108 have rejected judicial executions in law or practice. 56 Less than thirty carry out executions in any given year. Although the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) does not outlaw capital punishment outright, it specifically prohibits cruel and inhuman punishment and arbitrary executions, and limits capital punishment to "the most serious crimes." Forty-one countries have signed a Second Optional Protocol to the ICCPR by which they agree not to execute anyone and to take the necessary steps to abolish the death penalty.57
The practice of executing people of diminished culpability -- including people with mental retardation -- is particularly abhorrent. In recent years, the U.N. special rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions has received reports of the execution of people with mental retardation in only three countries -- Japan, Kyrgyztan, and the United States.58
Authoritative interpretations and applications of the ICCPR have established that respect for basic human rights precludes judicial killing of offenders with mental retardation. Thus, for example, a 1989 United Nations Economic and Social Council (ECOSOC) resolution recommended "eliminating the death penalty for persons suffering from mental retardation or extremely limited mental competence."59 The U.N. Commission on Human Rights adopted resolutions in 1999 and 2000 urging states that retain the death penalty not to impose it "on a person suffering from any form of mental disorder," a term that includes both the mentally ill and the mentally retarded.60
The U.N. special rapporteur on extrajudicial, summary, or arbitrary executions has repeatedly criticized the practice of imposing the death penalty on mentally retarded offenders. In 1998, for example, he criticized the United States for executing people with mental retardation in contravention of relevant international standards.61 In his report, he stated:
Because of the nature of mental retardation, mentally retarded persons are much more vulnerable to manipulation during arrest, interrogation, and confession. Moreover, mental retardation appears not to be compatible with the principle of full criminal responsibility.62
The special rapporteur's most recent report urged governments that continue to enforce death penalties "to take immediate steps to bring their domestic legislation and legal practice into line with international standards prohibiting the imposition of death sentences in regard to minors and mentally ill or handicapped persons."63
In 1992, the United States became a party to the ICCPR. It entered a reservation to the treaty, however, asserting its authority to use capital punishment to the extent permitted under the U.S. Constitution. The U.S. did agree, however, that it would not execute pregnant women, as prohibited by the ICCPR.
United States Law
U.S. constitutional law permits the execution of offenders with mental retardation. In the 1989 case of Penry v. Lynaugh, the U.S. Supreme Court reviewed the constitutionality of the death sentence of Johnny Paul Penry, a man with mental retardation who was convicted of raping, beating, and fatally stabbing a young woman in Texas. A sharply divided court decided that the execution of persons with mental retardation did not constitute cruel and unusual punishment as prohibited by the Eighth Amendment to the U.S. Constitution.64 The court reversed Penry's death sentence, however, and ordered a new trial because the judge's instructions to the jury had not permitted it to "consider and give effect to the mitigating evidence of Penry's mental retardation and abused background by declining to impose the death penalty."65
In deciding on the constitutionality of applying the death penalty to persons with mental retardation, Supreme Court Justice Sandra Day O'Connor, writing for the majority, noted that the Eighth Amendment prohibits punishments that were prohibited historically as well as those that run counter to "evolving standards of decency that mark the progress of a maturing society."66 Looking primarily to the "objective evidence" of federal and state legislation to ascertain how the nation viewed the execution of persons with mental retardation, Justice O'Connor concluded that "the two state statutes prohibiting execution of the mentally retarded, even when added to the 14 states that have rejected capital punishment completely, do not provide sufficient evidence at present of a national consensus" against such executions. 67 Justice O'Connor also ruled there was insufficient evidence that all persons with mental retardation lack the capacity to act with the degree of culpability associated with the death penalty. 68
In a separate opinion, Justice Brennan concurred with Justice O'Connor's analysis of the constitutional flaws in the Penry jury's sentencing instructions, but he strongly dissented from her reasoning and conclusion on the broader question of the constitutionality of executing persons with mental retardation. Justice Brennan argued that all persons with mental retardation, by definition, have significant limitations on their intellectual abilities and a reduced ability to function in society. He concluded, "The impairment of a mentally retarded offender's reasoning abilities, control over impulsive behavior, and moral development in my view limits his or her culpability so that, whatever other punishment might be appropriate, the ultimate penalty of death is always and necessarily disproportionate to his or her blameworthiness and hence is unconstitutional."69 Justice Brennan also insisted that the consideration of mental retardation as a mitigating factor in sentencing is inadequate to guarantee that a person " who is not fully blameworthy for his or her crime because of a mental disability does not receive the death penalty."70
Justice Brennan argued in addition that the execution of offenders with mental retardation violates the Eighth Amendment because such executions do not measurably further the penal goals of either retribution or deterrence. He reasoned that retribution is not furthered because the death penalty is disproportionate to the culpability of persons with mental disabilities; and, deterrence cannot be furthered because the intellectual impairments of persons with mental retardation preclude their ability to weigh the possibility of the death penalty in calculating different courses of action. As a result, "the execution of mentally retarded individuals is `nothing more than the purposeless and needless imposition of pain and suffering.'"71
Since the Penry decision, the number of death penalty states barring the execution of persons with mental retardation has grown to thirteen. 72 (Twelve states prohibit the death penalty for all persons, regardless of mental ability).73 The U.S. Congress has also prohibited application of the death penalty to federal defendants with mental retardation.74 Efforts to secure legislation to prohibit the execution of the mentally retarded are currently underway in several additional states, including Florida, Missouri, Nevada, North Carolina, Oklahoma and Texas. Public opinion against executing persons with mental retardation is strong: polls show upwards of 60 percent consistently opposed to such executions.75
Today, the two oldest and largest professional organizations working in the area of mental retardation, the Arc and the American Association on Mental Retardation, oppose the execution of persons with mental retardation, as do numerous other mental disability groups.76 The Arc summarizes its position as follows: "Existing case-by-case determinations of competence to stand trial, criminal responsibility, and mitigating factors at sentencing have proved insufficient to protect the rights of individuals with mental retardation. The presence of mental retardation by definition raises so many possibilities of miscommunication, misinformation, and an inadequate defense that the imposition of the death penalty is unacceptable."77The American Bar Association in 1989 adopted a recommendation opposing the execution of persons with mental retardation and calling for legislation banning such executions.78
All state-sponsored killings are abhorrent. In addition to all of the reasons for abolishing the death penalty completely, there are at least four justifications for specific legislative prohibitions against the execution of persons with mental retardation: 1) capital trials of the mentally retarded have an even higher than normal risk of the miscarriage of justice; 2) the death penalty is disproportionately severe punishment, and hence unjustifiably cruel, when levied on persons whose mental disability limits their moral culpability; 3) the case by case sentencing process does not ensure that persons with mental retardation will be spared capital punishment; and 4) subjecting the mentally retarded to state-sponsored killing is not necessary to advance the purposes ostensibly served by the death penalty. These justifications are explored in the following chapters.
54 Universal Declaration of Human Rights, adopted by U.N. General Assembly Resolution 217A(III), December 10, 1948.
55 See, e.g., Statement of Rt. Hon. Chris Patten, delivered to European Parliament, October 25, 2000; Declaration by President, European Union, February 8, 2000; and other European Union statements on the death penalty available on the European Union website, www.european.eu.int.
56 See Death Penalty Information Center website for updated information on the death penalty internationally, www.deathpenaltyinfo.org.
57 U.N. General Assembly, "Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty," G.A. res. 44/128, annex, 44 U.N. GAOR Supp. (No. 49) at 207, A/44/49 (1989), entered into force July 11, 1991.
58 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1997/60, para. 89 (1996); U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1995/61, para. 380 (1994); U.N. Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, "Capital punishment and implementation of the safeguards guaranteeing the protection of the rights of those facing the death penalty: Report of the Secretary-General," E/CN.15/1996/19, para. 74, (1996).
59 U.N. Economic and Social Council resolution 1989/64, "Implementation of the safeguards guaranteeing protection of the rights of those facing the death penalty," ESC/RES/1989/64, adopted May 1989.
60 U.N. Commission on Human Rights Resolution, "Question of the Death Penalty," E/CN.4/RES/1999/61, adopted April 28, 1999; U.N. Commission on Human Rights Resolution, "The Question of the death penalty", E/CN.4/RES/2000/65, adopted April 27, 2000.
61 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report by the Special Rapporteur," E/CN.4/1998/68/Add.3, para. 145 (1998).
62 Ibid., para. 58.
63 U.N. Commission on Human Rights, "Extrajudicial, summary or arbitrary executions: Report of the special rapporteur," E/CN.4/2000/3, para. 97 (2000),.
64 Penry v. Lynaugh, 492 U.S. 302 (1989).
65 Ibid., 492 U.S. at 328. The jury was to determine whether to impose the death penalty by answering three questions: "Did Penry act deliberately when he murdered Pamela Carpenter? Is there a probability that he will be dangerous in the future? Did he act unreasonably in response to provocation." 492 U.S. at 319.
66 Ibid., 492 U.S. at 330 (citations omitted).
67 Ibid., 492 U.S. at 334.
68 Ibid., 492 U.S. at 336-337.
69 Ibid., 492 U.S. at 345.
70 Ibid., 492 U.S. at 346.
71 Ibid., 492 U.S. at 348 (Brennan, J. dissenting) (citations omitted).
72 Arkansas, Colorado, Georgia, Indiana, Kansas, Kentucky, Maryland, Nebraska, New Mexico, New York, South Dakota, Tennessee, and Washington all prohibit such executions. New York state forbids the execution of the mentally retarded except in the case of a prisoner who commits murder. See Death Penalty Information Center at www.deathpenaltyinfo.org, visited February 6, 2001.
73 Alaska, Hawaii, Iowa, Maine, Massachusetts, Michigan, Minnesota, North Dakota, Rhode Island, Vermont, West Virginia, and Wisconsin as well as the District of Columbia prohibit the death penalty.
74 The Anti-Drug-Abuse Amendments Act of 1988 states that a "sentence of death shall not be carried out upon a person who is mentally retarded." 21 U.S.C. §848(1). In 1994, Congress passed the Violent Crime Control and Law Enforcement Act, which expanded applicability of the federal death penalty but retained the prohibition on the execution of persons with mental retardation. 18 U.S.C. §3596(c).
75 See Bonner and Rimer, "Executing the Mentally Retarded." In addition to the polls cited in footnote 3 above, see the results of the sixteen polls included in Denis W. Keyes and William J. Edwards, "Mental Retardation and the Death Penalty: Current Status of Exemptions Legislation," 21 Mental and Physical Disabilities Law Reporter 687, 688 (1997).
76 The AAMR submitted an amicus brief of to the U.S. Supreme Court in Penry v. Lynaugh urging a constitutional prohibition on the execution of persons with mental retardation. Ten mental heath organizations joined the brief, including the American Psychological Association, the Association for Persons with Severe Handicaps, the American Association of University Affiliated Programs for the Developmentally Disabled, the National Association of Superintendents of Public Residential Facilities for the Mentally Retarded, and the Mental Health Project.
77 See The Arc, "Position Statement on Access to Justice and Fair Treatment under the Criminal Law," at www.thearc.org/position-statements.htm, visited February 20, 2001.
78 See Resolution of the ABA House of Delegates (Feb. 1989). See also American Bar Association, "Q & A's on the Death Penalty," December 1999, available at www.abanet.org/media/deathpenaltyqa, visited August 23, 2000.
Pendapat Malaysia tentang Dinas Intelegent Militer Indonesia sejak tahun 2006
Bab X ”Wewenang Penangkapan Intelijen Tidak Diperlukan”
merupakan tulisan terakhir di buku ini yang mengangkat salah satu
usulan kontroversial dari draft RUU Intelijen Negara versi Maret
2006. Bab yang ditulis oleh A. Patra M. Zen (YLBHI) menawarkan satu
argumentasi dasar bahwa kewenangan anggota intelijen berbeda
dengan kewenangan aparat penegak hukum. Bagi Zen, anggota
intelijen memiliki kewenangan terbatas dalam pembentukan sistem
peringatan dini dan sistem informasi sistem strategis. Anggota
intelijen tidak memiliki kewenangan penegakan hukum. Karena
itu, secara tegas, Zen menyatakan bahwa UU Intelijen Negara tidak
perlu dan tidak boleh memberikan kewenangan penangkapan bagi
dinas dan anggota intelijen.
merupakan tulisan terakhir di buku ini yang mengangkat salah satu
usulan kontroversial dari draft RUU Intelijen Negara versi Maret
2006. Bab yang ditulis oleh A. Patra M. Zen (YLBHI) menawarkan satu
argumentasi dasar bahwa kewenangan anggota intelijen berbeda
dengan kewenangan aparat penegak hukum. Bagi Zen, anggota
intelijen memiliki kewenangan terbatas dalam pembentukan sistem
peringatan dini dan sistem informasi sistem strategis. Anggota
intelijen tidak memiliki kewenangan penegakan hukum. Karena
itu, secara tegas, Zen menyatakan bahwa UU Intelijen Negara tidak
perlu dan tidak boleh memberikan kewenangan penangkapan bagi
dinas dan anggota intelijen.
Pendapat Saya tentang https://www.facebook.com/MoertiAmirul
Tentang Kapal Pesiar yang disebut2x oleh PIHAK IUD (Indon Utara
Dobol),kalau saya melalui 1st,bukan hanya KAPAL PESIAR saja,tetapi KAPAL
GOLD COAST. Itu karena di Negara2x yang terletak di Benua Asia memang
BELUM ada yang punya,apa salahnya kalau BEKERJA SAMA untuk membuatnya.
Dan itu memang TIDAK BISA DALAM JANGKA WAKTU DEKAT,sebab Bussines dari
1st itu sendiri BELUM BERJALAN. Dan IDE2x itulah,yang akhirnya membuat
1st BANYAK DIPERTANYAKAN,DIPERSALAHKAN dan DIPERMASALAHKAN,ya memang
MEREKA TIDAK INGIN dan TIDAK MAMPU serta TIDAK YAKIN kalau MEREKA BISA
dan mau BEKERJA SAMA DENGAN 1st,yang DIPANDANG RENDAH HANYA KARENA
DIDIRIKAN OLEH SEORANG WARGA NEGARA REPUBLIK INDONESIA,bukan BERKULIT
PUTIH,yang banyak MODAL. Mereka tak berpikir untuk MANDIRI dan MENCARI
DAN MENGUSAHAKAN MODAL SENDIRI atau yang lain2x.
Kalau jadi ya saya tetap memilih PT.PAL dan jelasnya ya tetap memilih Prof. BJ. Habibie. Tapi ini khan belum jadi,sedangkan angka2x yang tertera di FB ID Moerti Rahajani adalah memang kiriman suara dari Branch Manager RHB Bank di Yayasan Tun Razak Malaysia. Dan itu saya jadikan MOTIVASI saya untuk SESEGERA mungkin MENDIRIKAN dan MEMPOPULERKAN 1st kepada SEMUA PIHAK yang BERMINAT untuk BEKERJA SAMA DENGAN 1st di MASA YANG AKAN DATANG. Dan itupun masih lagi tergantung dari Pendapat Para Pelindung2x 1st. Sebab bagaimanapun juga,CEO TETAP memang orang2x yang telah saya tunjuk,sebab waktu itu nama 1st sedang DIPERMAINKAN oleh ORANG2X YANG TIDAK BERTANGGUNGJAWAB,sedangkan 1st sudahpun saya legalkan dengan memperkenalkan nama 1st dengan pelindung2x yang telah saya sebutkan di FB ID Moerti Rahajani,yaitu: Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono,Bpk. Najib Tun Razak dan Duli Yang Dipertuan Agung Malaysia. Dan dalam rangka MERUNTUHKAN NAMA 1st itulah,sampai mereka BERANI MELECEHKAN nama2x Pelindung daripada 1st tersebut. Dan NAMA2X itu juga TERTERA DI SURAT PENGAJUAN PROPOSAL yang saya serahkan pada RHB Yayasan Tun Razak Malaysia.
Sedangkan Surat saya kepada Abang Am juga DISALAH ARTIKAN dan DISALAHGUNAKAN, sebagai Bahan untuk Memeras Ugut Abang Am,yang katanya Abang itu akan memperoleh Harta WArisan atau Sebagai Pengelola Perusahaan Besar yang banyak uang atau apapun itu bentuk benda yang mereka pikirkan,yang pasti mereka terpikir Surat itu mengandung UANG. Padahal Abang AM tak tahu apa2x.
Padahal surat itu berarti,KALAU TERJADI SESUATU PADA SAYA,ABANG AM KENA SELAMATKAN SEMUA ORANG,YANG JELASNYA memang Bekerja sama dengan RHB itu. Hal ini disebabkan SAYA dan Para Korban yang lain,yang memang Pengelola Restorant Life Food Style di Lt.4 berjaya Times Square Malaysia MEMANG TAHU SIAPA PELAKU nya. Dan memang saya sulit untuk melaporkan pada PDRM,sedangkan Abang Am juga sudah ditangkap,yang ada hanya saya yang diluar. Kalau saya melapor,jelasnya saya tertangkap dulu,karena Ketiadaan Dokumen,bukan karena Kes Kriminal itu. Tetapi karena Memang NAFSU MENGALAHKAN SEMUANYA.....UANG ADA,ORANG BERADA.....UANG DATANG,NEGARA DIBUANG.
Kalau jadi ya saya tetap memilih PT.PAL dan jelasnya ya tetap memilih Prof. BJ. Habibie. Tapi ini khan belum jadi,sedangkan angka2x yang tertera di FB ID Moerti Rahajani adalah memang kiriman suara dari Branch Manager RHB Bank di Yayasan Tun Razak Malaysia. Dan itu saya jadikan MOTIVASI saya untuk SESEGERA mungkin MENDIRIKAN dan MEMPOPULERKAN 1st kepada SEMUA PIHAK yang BERMINAT untuk BEKERJA SAMA DENGAN 1st di MASA YANG AKAN DATANG. Dan itupun masih lagi tergantung dari Pendapat Para Pelindung2x 1st. Sebab bagaimanapun juga,CEO TETAP memang orang2x yang telah saya tunjuk,sebab waktu itu nama 1st sedang DIPERMAINKAN oleh ORANG2X YANG TIDAK BERTANGGUNGJAWAB,sedangkan 1st sudahpun saya legalkan dengan memperkenalkan nama 1st dengan pelindung2x yang telah saya sebutkan di FB ID Moerti Rahajani,yaitu: Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono,Bpk. Najib Tun Razak dan Duli Yang Dipertuan Agung Malaysia. Dan dalam rangka MERUNTUHKAN NAMA 1st itulah,sampai mereka BERANI MELECEHKAN nama2x Pelindung daripada 1st tersebut. Dan NAMA2X itu juga TERTERA DI SURAT PENGAJUAN PROPOSAL yang saya serahkan pada RHB Yayasan Tun Razak Malaysia.
Sedangkan Surat saya kepada Abang Am juga DISALAH ARTIKAN dan DISALAHGUNAKAN, sebagai Bahan untuk Memeras Ugut Abang Am,yang katanya Abang itu akan memperoleh Harta WArisan atau Sebagai Pengelola Perusahaan Besar yang banyak uang atau apapun itu bentuk benda yang mereka pikirkan,yang pasti mereka terpikir Surat itu mengandung UANG. Padahal Abang AM tak tahu apa2x.
Padahal surat itu berarti,KALAU TERJADI SESUATU PADA SAYA,ABANG AM KENA SELAMATKAN SEMUA ORANG,YANG JELASNYA memang Bekerja sama dengan RHB itu. Hal ini disebabkan SAYA dan Para Korban yang lain,yang memang Pengelola Restorant Life Food Style di Lt.4 berjaya Times Square Malaysia MEMANG TAHU SIAPA PELAKU nya. Dan memang saya sulit untuk melaporkan pada PDRM,sedangkan Abang Am juga sudah ditangkap,yang ada hanya saya yang diluar. Kalau saya melapor,jelasnya saya tertangkap dulu,karena Ketiadaan Dokumen,bukan karena Kes Kriminal itu. Tetapi karena Memang NAFSU MENGALAHKAN SEMUANYA.....UANG ADA,ORANG BERADA.....UANG DATANG,NEGARA DIBUANG.
Tentang Pendapat APINDO
By Chief Editor August 3, 2009 1 Comments Read More →
Dasar Pemikiran Standar Ketenagakerjaan International Untuk Pekerja Rumah Tangga
Dasar pemikiran untuk mendukung sebuah konvensi ketenagakerjaan internasional dan sebuah rekomendasi yang terkait mengenai hak-hak ketenagakerjaan pekerja rumah tangga meliputi:
Pekerja rumah tangga merepresentasikan satu kelompok terbesar pekerja yang tak terlindungi, dan satu kelompok terbesar pekerja perempuan berbayar yang bekerja di dalam rumah tangga orang lain di negara mereka sendiri atupun di luar negeri, yang dikecualikan dari undang-undang ketenagakerjaan di sebagian besar negara dan seringkali ditolak hak-hak dasarnya seperti kebebasan berserikat dan perlindungan dari diskriminasi, pekerja anak dan pelbagai kondisi kerja paksa.
Pekerja rumah tangga membuat pekerja lain dan keluarganya mampu meningkatkan standar hidup mereka dengan melakukan perawatan terhadap rumah-rumah mereka, dan para anggota rumah tangga (anak-anak, orang lanjut usia, orang sakit, dan orang cacat).
Di pelbagai negara, seperti sebagian besar negara Asia dan Arab, di mana kebijakan social tidak mencakup kebutuhan pekerja dan keluarganya akan perawatan, pekerja rumah tangga melaksanakan perawatan rumah tangga yang banyak dibutuhkan tersebut sehingga memungkinkan kaum perempuan di dalam rumah tangga menjadi atau terus aktif secara ekonomi.
Faktanya, jika tidak diberikan oleh pekerja rumah tangga, jasa yang diperlukan oleh rumah tangga akan menghabiskan biaya berlipat-lipat lebih banyak jika disewa dari penyedia jasa berbasis pasar, (binatu, katering, penitipan anak, panti jompo, dll.)
Karena pekerjaanya dilakukan di rumah-rumah pribadi, yang di banyak negara tidak dianggap sebagai tempat kerja, hubungan kerja mereka tidak dicakup di dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional atau di dalam undang-undang lainnya, sehingga membuat mereka tidak diakui sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan pekerja. Namun, beberapa negara Asia, seperti Filipina dan Hongkong, telah meloloskan undang-undang mengenai pekerjaan rumah tangga yang membuat cakupan perlindungan pekerja menjangkau pekerja rumah tangga.
Kerentanan khusus pekerja rumah tangga terhadap pelecehan dan eksploitasi dengan tiadanya perlindungan pekerja dan inspeksi tempat kerja, serta beragamnya ketentuan kerja, metode pengupahan, jam kerja dan aspek-aspek lain dari kondisi kerja mereka membutuhkan pertimbangan dan standar tersendiri yang diadaptasikan pada kondisi mereka.
Telah lama ILO mengemukakan perlunya pemberian perhatian khusus terhadap pekerja rumah tangga. Faktanya, Konfrensi International Labour. Conference secara reguler telah menyerukan dilakukannya penyusunan standar untuk pekerja rumah tanggasejak tahun 1936 hingga kini.
Namun, perhatian terhadap pelbagai aspek utama pekerjaan rumah tangga di dalam hukum internasional, termasuk pelbagai konvensi ILO yang telah ada, tetap saja tidak memadai. Faktanya, sejumlah konvensi ILO memperbolehkan pengecualian kategori pekerja ini dari cakupan ketentuan-ketentuan mereka.
Banyak pekerja rumah tangga yang merupakan perempuan migran’ Di negara asal mereka’ banyak dari mereka yang memiliki kualifikasi yang jauh lebih tinggi dari pada yang dipersyaratkan untuk pekerja rumah tangga tetapi realitas sosial dan kebutuhan akan uang untuk bertahan hidup memaksa para perempuan tersebut untuk mau pergi dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga dengan kondisi kerja yang pasti terkait dengan kondisi hidup dan perlakuan secara umum membuat mereka rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi tenaga kerja.
Terdapat jutaan pekerja rumah tangga di negara-negara Asia dan Arab. Sebagian besar merupakan perempuan Asia dan perempuan Afrika dari keluarga miskin yang meninggalkan rumah dan orang-orang yang mereka sayangi untuk bekerja dengan upah yang sangat rendah dan secara total bergantung kepada majikan/sponsor mereka. Mereka dikecualikan dari hak-hak ketenagakerjaan nasional di sebagian besar negara Asia dan Arab dengan status ganda mereka sebagai migran dan pekerja rumah tangga
Di banyak negara, pekerjaan rumah tangga dianggap bentuk pekerja anak yang paling berbahaya, karena itu kecenderungan tedadinya pelecehan dan eksploitasi di rumah-rumah pribadi. Namun di banyak negara, anak-anak berusia lima tahun bekerja sepanjang hari di dalam rumah tangga, tanpa kesempatan untuk belajar, bermain dan
berkembang.
Sejumlah pemerintah baru-baru ini memulai langkah untuk membuat kebijakan nasional dan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga dan sejumlah pemerintah lainnya sedang mempertimbagkan untuk melakukan hal yang sama. Standar internasional, pada saatnya, akan memberikan arahan bagi langkah-langkah semacam itu.
Tulisan asli artikel ini dan tulisan lainnya tentang ketenagakerjaan dapat juga di akses langsung melalui link: Iftida Mewakili APINDO dengan Dukungan KADIN dalam PENYUSUNAN STANDAR INTERNASIONAL UNTUK PEKERJA RUMAH TANGGA
Kontributor:
Iftida Yasar, SH, M.Si adalah alumni Fakultas Hukum UNPAD dan lulusan Magister Psikologi UI. Beliau adalah seorang entrepreneur dan konsultan SDM yang sangat dikenal dalam bidang hubungan industrial, terutama dalam bidang penempatan tenaga kerja / outsourcing, training baik klasikal / outbound, dan sebagai pengasuh di majalah bertemakan HRM
Selain sebagai Presiden Direktur di Persaels, sebuah perusahaan jasa bidang outsourcing, berbagai jabatan dalam aktivitasnya di bidang human development dipercaya pada beliau, diantaranya: Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri pada Kamar Dagang dan Industri, Sebagai Wakil Sekertaris Umum APINDO, dan Penasehat ABADI (Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia)
Di sela-sela jabatan yang lebih bersifat formal di atas, Beliau juga banyak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial yang menyangkut: Women issues, Labour issues, Youth issues, dan kegiatan masyarakat lainnya.
Dasar Pemikiran Standar Ketenagakerjaan International Untuk Pekerja Rumah Tangga
Dasar pemikiran untuk mendukung sebuah konvensi ketenagakerjaan internasional dan sebuah rekomendasi yang terkait mengenai hak-hak ketenagakerjaan pekerja rumah tangga meliputi:
Pekerja rumah tangga merepresentasikan satu kelompok terbesar pekerja yang tak terlindungi, dan satu kelompok terbesar pekerja perempuan berbayar yang bekerja di dalam rumah tangga orang lain di negara mereka sendiri atupun di luar negeri, yang dikecualikan dari undang-undang ketenagakerjaan di sebagian besar negara dan seringkali ditolak hak-hak dasarnya seperti kebebasan berserikat dan perlindungan dari diskriminasi, pekerja anak dan pelbagai kondisi kerja paksa.
Pekerja rumah tangga membuat pekerja lain dan keluarganya mampu meningkatkan standar hidup mereka dengan melakukan perawatan terhadap rumah-rumah mereka, dan para anggota rumah tangga (anak-anak, orang lanjut usia, orang sakit, dan orang cacat).
Di pelbagai negara, seperti sebagian besar negara Asia dan Arab, di mana kebijakan social tidak mencakup kebutuhan pekerja dan keluarganya akan perawatan, pekerja rumah tangga melaksanakan perawatan rumah tangga yang banyak dibutuhkan tersebut sehingga memungkinkan kaum perempuan di dalam rumah tangga menjadi atau terus aktif secara ekonomi.
Faktanya, jika tidak diberikan oleh pekerja rumah tangga, jasa yang diperlukan oleh rumah tangga akan menghabiskan biaya berlipat-lipat lebih banyak jika disewa dari penyedia jasa berbasis pasar, (binatu, katering, penitipan anak, panti jompo, dll.)
Karena pekerjaanya dilakukan di rumah-rumah pribadi, yang di banyak negara tidak dianggap sebagai tempat kerja, hubungan kerja mereka tidak dicakup di dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional atau di dalam undang-undang lainnya, sehingga membuat mereka tidak diakui sebagai pekerja yang berhak atas perlindungan pekerja. Namun, beberapa negara Asia, seperti Filipina dan Hongkong, telah meloloskan undang-undang mengenai pekerjaan rumah tangga yang membuat cakupan perlindungan pekerja menjangkau pekerja rumah tangga.
Kerentanan khusus pekerja rumah tangga terhadap pelecehan dan eksploitasi dengan tiadanya perlindungan pekerja dan inspeksi tempat kerja, serta beragamnya ketentuan kerja, metode pengupahan, jam kerja dan aspek-aspek lain dari kondisi kerja mereka membutuhkan pertimbangan dan standar tersendiri yang diadaptasikan pada kondisi mereka.
Telah lama ILO mengemukakan perlunya pemberian perhatian khusus terhadap pekerja rumah tangga. Faktanya, Konfrensi International Labour. Conference secara reguler telah menyerukan dilakukannya penyusunan standar untuk pekerja rumah tanggasejak tahun 1936 hingga kini.
Namun, perhatian terhadap pelbagai aspek utama pekerjaan rumah tangga di dalam hukum internasional, termasuk pelbagai konvensi ILO yang telah ada, tetap saja tidak memadai. Faktanya, sejumlah konvensi ILO memperbolehkan pengecualian kategori pekerja ini dari cakupan ketentuan-ketentuan mereka.
Banyak pekerja rumah tangga yang merupakan perempuan migran’ Di negara asal mereka’ banyak dari mereka yang memiliki kualifikasi yang jauh lebih tinggi dari pada yang dipersyaratkan untuk pekerja rumah tangga tetapi realitas sosial dan kebutuhan akan uang untuk bertahan hidup memaksa para perempuan tersebut untuk mau pergi dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga dengan kondisi kerja yang pasti terkait dengan kondisi hidup dan perlakuan secara umum membuat mereka rentan terhadap pelecehan dan eksploitasi tenaga kerja.
Terdapat jutaan pekerja rumah tangga di negara-negara Asia dan Arab. Sebagian besar merupakan perempuan Asia dan perempuan Afrika dari keluarga miskin yang meninggalkan rumah dan orang-orang yang mereka sayangi untuk bekerja dengan upah yang sangat rendah dan secara total bergantung kepada majikan/sponsor mereka. Mereka dikecualikan dari hak-hak ketenagakerjaan nasional di sebagian besar negara Asia dan Arab dengan status ganda mereka sebagai migran dan pekerja rumah tangga
Di banyak negara, pekerjaan rumah tangga dianggap bentuk pekerja anak yang paling berbahaya, karena itu kecenderungan tedadinya pelecehan dan eksploitasi di rumah-rumah pribadi. Namun di banyak negara, anak-anak berusia lima tahun bekerja sepanjang hari di dalam rumah tangga, tanpa kesempatan untuk belajar, bermain dan
berkembang.
Sejumlah pemerintah baru-baru ini memulai langkah untuk membuat kebijakan nasional dan perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga dan sejumlah pemerintah lainnya sedang mempertimbagkan untuk melakukan hal yang sama. Standar internasional, pada saatnya, akan memberikan arahan bagi langkah-langkah semacam itu.
Tulisan asli artikel ini dan tulisan lainnya tentang ketenagakerjaan dapat juga di akses langsung melalui link: Iftida Mewakili APINDO dengan Dukungan KADIN dalam PENYUSUNAN STANDAR INTERNASIONAL UNTUK PEKERJA RUMAH TANGGA
Kontributor:
Iftida Yasar, SH, M.Si adalah alumni Fakultas Hukum UNPAD dan lulusan Magister Psikologi UI. Beliau adalah seorang entrepreneur dan konsultan SDM yang sangat dikenal dalam bidang hubungan industrial, terutama dalam bidang penempatan tenaga kerja / outsourcing, training baik klasikal / outbound, dan sebagai pengasuh di majalah bertemakan HRM
Selain sebagai Presiden Direktur di Persaels, sebuah perusahaan jasa bidang outsourcing, berbagai jabatan dalam aktivitasnya di bidang human development dipercaya pada beliau, diantaranya: Ketua Komite Tetap Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri pada Kamar Dagang dan Industri, Sebagai Wakil Sekertaris Umum APINDO, dan Penasehat ABADI (Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia)
Di sela-sela jabatan yang lebih bersifat formal di atas, Beliau juga banyak terlibat dalam berbagai aktivitas sosial yang menyangkut: Women issues, Labour issues, Youth issues, dan kegiatan masyarakat lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)