Minggu, 01 Februari 2015

Perbandingan Hukum Ketenagakerjaan di Malaysia dan Indonesia

PERBANDINGAN SISTEM HUKUM KETENAGAKERJAAN NEGARA MALAYSIA DAN
NEGARA INDONESIA DALAM PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENEGAKAN HAK ASASI
MANUSIA
Oleh :
Dedi Pahroji & Holyness N Singadimedja
A. Latar Belakang
Walau terjadi peningkatan jumlah imigrasi pekerja dari Indonesia, kerangka
kebijakan yang komprehensif dan lembaga yang efektif guna mengelola pekerja migran
Indonesia belum tersedia. Pada 2004 Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang
Penempatan dan Perlindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri (untuk
selanjutnya akan disebut UU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran) telah disahkan
DPR. Kendati UU tersebut mengandung beberapa ketentuan yang mengagumkan, seperti
jaminan bahwa penempatan tenaga kerja akan dilaksanakan berdasarkan “persamaan hak,
demokrasi, keadilan sosial, persamaan gender dan keadilan gender, anti-diskriminasi, dan
anti-perdagangan manusia” (Pasal 2 UU No.39 Tahun 2004) , UU tersebut memiliki
kelemahan konsep dan substansi. Contohnya, secara konsep UU tersebut telah dikritik karena
terfokus pada penempatan pekerja migran ketimbang perlindungan terhadap pekerja migran
tersebut.1 Dinilai dari substansinya, UU tersebut kurang jelas dalam beberapa hal seperti
penugasan tanggung jawab guna menegakkan hak-hak pekerja migran. Namun, aspek
terlemah dari UU ini adalah bahwa penegakkannya selama ini sangatlah kurang dan bahkan
tidak ada sama sekali. Sebagai hasil dari lemahnya hukum dan penegakannya dalam hal
pekerja migran, kasus-kasus pelecehan dan eksploitasi terhadap pekerja migran Indonesia
banyak terjadi di tangan agen penyalur jasa tenaga kerja, pelatih, pemberi kerja, para pelaku
perdagangan manusia (trafficker) dan pejabat pemerintah yang tidak manusiawi. Kasus-kasus
ini terjadi pada setiap tahapan dari proses migrasi tenaga kerja: pra-keberangkatan, selama
bekerja di luar negeri dan setelah kembali.
Dari berbagai jumlah kasus yang menimpa TKI serta fakta belum selesainya
penanganan hukum atas kasus-kasus yang melibatkan banyak pihak, terutama kasus-kasus
yang secara langsung bersinggungan dengan hukum, maka sudah selayaknya menimbulkan
berbagai pertanyaan mendasar tentang sejauh mana peranan dan kepedulian pemerintah
Indonesia terhadap warga negaranya, sehingga dapat dijadikan cerminan untuk melihat
perlindungan yang dilakukan negara (dalam hal ini pemerintah) terhadap warganegara atas
segala bentuk penyiksaan hak asasinya. Hal ini menarik dikaji mengingat pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan keberadaan TKI seperti
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmennakertrans) No. 104 A Tahun
2002, UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maupun UU No. 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU
PPTKILN), dan Memorandum Of Understansing (MOU) antara Malaysia dan Indonesia
yang telah diperbaharui pasca dicabutnya moratorium bagi TKI informal Indonesia ke
Malaysia, yang sampai sekarang dirasa masih kurang menampakkan kebijakan yang
menyentuh perlindungan terhadap TKI. Sorotan dari banyak pihak telah melahirkan
peraturan perundang-undangan tersebut berkaitan dengan substansi yang hanya didominasi
1 KOPBUMI, Legal Analysis of The Law on the Placement and Protection of Indonesia Migrant Workers
overseas, Makalah Rancangan ILO, Jakarta, 2005, hal 2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
dengan aturan mengenai mekanisme operasional pengiriman dan penempatan. Sementara
substansi yang mengatur perlindungan hak-hak TKI ke luar negeri masih kurang
diperhatikan.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah system hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Negara Malaysia di
bandingkan dengan system hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum yang diberikan Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Malaysia bagi buruh migrant Indonesia di negara Malaysia dalam rangka
penegakan hak asasi manusia menurut UUD 1945 ?
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan bersifat deskriftif analitis menggunakan pendekatan yuridis
normatif , dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum yang digunakan untuk
menghasilkan perlindungan hukum bagi TKI LN sebagai dasar dalam UU No. 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, yang didukung dengan pendekatan
perbandingan (comparative approach) dengan Negara Malaysia yang memiliki Sistim Hukum
yang berbeda dengan negara Indonesia.
Kemudian melakukan analisis secara yuridis kualitatif, dengan menggunakan daya abstraksi dan
penafsiran hukum (interpretasi) untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk uraian-uraian
(deskripsi) dengan menggunakan logika deduktif maupun induktif
D. Pembahasan
1. Sistem Hukum Ketenagakerjaan di Negara Malaysia dan Sistem Hukum
Ketenagakerjaan Indonesia dalam Mewujudkan Penegakan Hak Asasi Buruh
Migran
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia
Sebagai bekas jajahan Inggris, Malaysia tetap mempertahankan tradisi hukum
kebiasaan Inggris ( Common Law Sistem ) Tradisi ini berdiri ditengah-tengah sistem
hukum Islam (yang dilaksanakan oleh pengadilan atau Mahkamah Syari’ah) dan hukum
adat berbagai kelompok penduduk asli. Malaysia merupakan salah satu dari sekian
banyak (+ 19 negara ) Commonwealth Country atau negara-negara persemakmuran
Inggris. Semua negara-negara persemakmuran mengadopsi sistem hukum Inggris yang
biasa disebut dengan sistem hukum Anglo-Saxon atau juga Common Law .
Malaysia memiliki sistem federal yang membagi kekuasaan pemerintahan
menjadi Pemerintahan Federal dan Pemerintahan Negara bagian Pembagian kekuasaan
ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar Federal. Walaupun undang-undang dasar
menggunakan sistem federal namun sistem ini berjalan dengan kekuasaan yang besar
dari pemerintahan pusat.
Di Malaysia Konstitusi merupakan hukum yang berkedudukan paling tinggi.
Meskipun hukum Malaysia sangat dipengaruhi hukum Inggris tetapi dalam banyak hal
ternyata berbeda, misalnya Parlemen Malaysia berbeda dengan Parlemen Inggris,
Parlemen Inggris memegang kekuasaan tertinggi dan tanpa batas sedangkan parlemen
Malaysia tidak memiliki kekuasaan seperti itu. Malaysia merupakan negara Federal
dengan kostitusi tertulis yang kaku. Parlemen memperoleh kekuasaan dari konstitusi dan
dibagi diantara negara federal denga negara-negara bagian.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Beberapa kewenangan dari Pemerintahan Federal adalah urusan luar negeri,
pertahanan, keamanan nasional, polisi, hukum perdata dan pidana sekaligus prosedur
dan administrasi keadilan, kewarganegaraan, keuangan, perdagangan, perniagaan dan
industri, perkapalan, navigasi dan perikanan, komunikasi dan trasnsportasi, kinerja dan
kekuasaan federal, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan keamanan social.
Sistem pengadilan secara mendasar bersifat federal. Baik hukum federal maupun
negara bagian dilaksanakan di pengadilan federal. Hanya pengadilan Syari’ah yang
hanya terdapat pada negara bagian, yang menggunakan sistem Hukum Islam, bersama
dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat.
Selanjutnya juga terdapat Sessions Courts (pengadilan sessi) dan Magistrates’ Courts
(Pengadilan Magistrat). Pengadilan tinggi dan tingkat pengadilan di bawahnya memiliki
yurisdiksi dan kewenangan yang diatur oleh hukum federal. Mereka juga tidak memiliki
yurisdiksi dalam segala hal yang berkaitan dengan yurisdiksi pengadilan Syari’ah.
Beberapa kewenangan negara bagian diantaranya adalah hal-hal yang berkaitan dengan
praktek agama Islam dalam negara, hak kepmilikan tanah, kewajiban pengambilan
tanah, izin pertambangan, pertanian dan eksploitasi hutan, pemerintahan kota, dan kerja
publik demi kepentingan negara. Terdapat juga beberapa kekuasaan yang berlaku secara
bersamaan diantaranya sanitasi, pengaliran dan irigasi, keselamatan dari kebakaran,
kependudukan dan kebudayaan serta olah raga. Ketika hukum federal dan hukum negara
bagian saling bertentangan maka hukum federallah yang dianggap berlaku.
Menteri yang bertanggung jawab atas undang-undang hubungan industrial dapat
mengajukan perselisihan antara para penyedia lapangan kerja dengan serikat
perdagangan pada pengadilan industri, dan direktur jenderal buruh dapat dipanggil untuk
mengatasi perselisihan mengenai gaji karyawan. Banyak undang-undang yang
menyediakan arbitrase, selanjutnya undang-undang arbitrase tahun 1952 menyediakan
peraturan untuk arbitrase domestik. Terdapat juga Pusat Regional untuk Arbitrase di
Kuala Lumpur yang menyediakan fasilitas untuk dilaksanakan arbitrase atas transaksi
komersial internasional.
Prinsip-prinsip yang meliputi hubungan antara majikan dengan pekerja di
Malaysia diperoleh dari 3 sumber utama :
1. Common law
2. Undang-Undang Tertulis di Malaysia
3. Keputusan-Keputusan Mahkamah Perusahaan dan Mahkamah Civil
Statute (undang-undang tertulis) ketenagakerjaan Malaysia banyak meniru dari
Statuta Inggris dan India, namun begitu statute ketenagakerjaan di Malaysia tidaklah
benar-benar serupa (in pari material) dengan undang-undang ketenagakerjaan kedua
negara tersebut. Dalam satuta Malaysia terdapat beberapa peruntukan yang khusus
untuk Malaysia.
Statute-statuta buruh di Malaysia (undang-undang tertulis berkenaan dengan
Ketenagakerjaan) terdiri dari Akta Pekerjaan, Akta Perhubungan Perusahaan, Akta
Kesatuan Sekerja, Akta Keselamatan Sosial Pekerja, dan sebagainya. Menurut
ketentuan 3 dan 5 Akta Undang-Undang Sivil, jika terdapat undang-undang tertulis di
Malaysia, Common Law tidak digunakan, namun jika terdapat kekosongan dalam
undang-undang tertulis tersebut prinsip common law masih dipakai untuk mengisi
kekosongan itu.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
Makamah di Malaysia banyak mengambil aturan-aturan common law bagi
melaksanakan aspek undang-undang ketenagakerjaan di Malaysia, misalnya untuk
menentukan ujian menentukan dibuat atau tidaknya “kontrak perkhidmatan” (perjanjian
kesepakatan bersama), kewajiban antara majikan dan pekerja, dan sebagainya.
Statute – satatuta ketenagakerjaan di Malaysia sebagai berikut :
1. Akta pekerjaan 1955, dirubah 1989
2. Akta Kesatuan Sekerja 1959, dirubah 1989
3. Akta Perhubungan Perusahaan 1957, dirubah 1980, 1989
4. Akta Keselamatan Sosial Pekerja 1969
5. Akta pekerjaan Anak-Anak dan Orang Muda 1966
Seperti halnya undang-undang ketenagakerjaan di negara-negara pada umumnya,
undang-undang ketenagakerjaan Malaysia mengatur ketentuan-ketentuan umum
berkaitan perlindungan bagi pekerja dan majikan / perusahaan seperti perjanjian kerja,
hak dan kewajiban buruh/pekerja dan majikan / pengusaha, jam kerja, upah, cuti /
istirahat, cuti bersalin, ketentuan tentang lembur, jaminan social, hak beribadah,
penghentian pekerjaan / PHK, serta pesangaon dan ketentuan-ketentuannya dan lainlain.
Ketenagakerjaan di Malaysia berada di bawah Kementerian Pengurusan Sumber
Manusia di Bawah Perdana Meneteri, sejajar dengan Kementerian lain, seperti
Keimigrasian. Sebagai negara penerima Tenaga Kerja Indonesia, Malaysia tidak
mengatur secara khusus perundang-undangan berkaitan tenaga Kerja Asing, di Malaysia
semua pekerja baik domestic maupun dari luar negara yang bekerja di Malaysia melalui
kontrak kerja yang sah antara pekerja dengan Malaysia terikat ketentuan dalam Akta
Perkerjaan (undang-undang ketenagakerjaan), kecuali tenaga kerja informal, sama
dengan Indonesia, malaysia tidak mempunyai perundangundangan khusus berkaitan
dengan tenaga kerja informal, Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di Malaysia sebagai
tenaga kerja informal (buruh kasar/Pembantu Rumah Tangga) tidak tercover dalam
perundang-undangan Malaysia, Tenaga kerja informan Indonesia terikat pada ketentuan
aturan keimigrasian Malaysia sebagai warga negara asing yang berada di Malaysia
untuk batas waktu tertentu.
Perjanjian antara pekerja dan majikan melalui agen berkaitan dengan masa kerja,
upah, serta hak dan kewajiban pekerja dan majikan, negara Indonesia dalam membuat
perjanjian dengan negara Malaysia berupa perjanjian G to G (government to
government) dengan bentuk MoU. Yang selama ini ketentuannya lebih berpihak kepada
Majikan. MoU antara pemerintah merupakan legalisasi TKI untuk dapat bekerja di
Malaysia sebagai dasar bagi perlindungan hak-hak dan kewajiban TKI.
b. Sistem KelembagaanKetenagakerjaan Indonesia
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah lembaga pemerintah
utama untuk pengaturan pekerja migran di Indonesia. Rekrutmen dan penempatan tenaga
kerja dilakukan oleh agen swasta, yang diberikan izin oleh Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Departemen juga mengawasi pelatihan keterampilan, pembekalan wajib prakeberangkatan
dan menyediakan sejumlah kecil atase tenaga kerja di kedutaan besar
Indonesia di luar negeri. Departemen-departemen pemerintah yang lain juga terlibat, sejalan
dengan mandat mereka yang beragam. Misalnya, Departemen Luar Negeri menangani
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
persoalan konsuler, Direktorat Jenderal Imigrasi (di dalam struktur Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia) mengeluarkan paspor, dan Departemen Kesehatan bertanggungjawab
atas pemeriksaan kesehatan pra-keberangkatan.
UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran mewajibkan pembentukan Badan
Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja ke Luar Negeri (BNPP-TKLN).
Badan ini belum dibentuk, kendati Menteri Tenaga Kerja baru-baru ini telah meyakinkan
masyarakat bahwa badan ini akan mulai beroperasi pada Oktober 2006. BNPP-TKLN akan
terdiri dari departemen-departemen pemerintah yang terkait, dan akan bertanggungjawab
langsung pada presiden. Badan ini akan memiliki tanggung jawab untuk “menerapkan
kebijakan-kebijakan dalam bidang penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di
luar negeri secara terkoordinir dan terpadu” (Pasal 95 UU No. 39 tahun 2004). Hal ini akan
meliputi, interalia, rekrutmen, pemeriksaan kesehatan, pelatihan, keberangkatan dan
perlindungan dalam negara.
Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kota/Kabupaten dalam menerapkan UU Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran tidak
dibuat dengan jelas. UU tersebut tidak menjelaskan hubungan antara BNPP-TKLN dan
tingkat-tingkat pemerintahan yang berbeda-beda. Saat ini, kesepakatan penempatan kerja
haruslah didaftarkan dengan wewenang Kota/Kabupaten, dan “Biro Pelayanan” akan
dibentuk di ibukota-ibukota provinsi. Pengawasan perizinan terhadap para perekrut dan
pelatihan tampaknya dibagi secara informal oleh tingkat pemerintahan yang berbeda;
hubungan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kotapraja/Kabupaten tidaklah jelas. Persoalan penting lainnya juga tidak tercakup dalam
UU ini. Kenyataan bahwa otonomi daerah sekarang berlaku di Indonesia, maka penting bagi
UU tersebut untuk mendefinisikan secara jelas peran dan tanggung jawab tiap tingkat
pemerintahan dalam mengelola proses migrasi. Pembagian wewenang terakhir haruslah
berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan menyalurkan jasa untuk tingkat lokal di satu
sisi dengan sumber daya manusia yang lebih banyak tersedia di pemerintah pusat di sisi
lainnya.
Di Indonesia, rekrutmen dan penempatan warga negara untuk bekerja di luar negeri
dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai Perusahaan Jasa Tenaga Kerja
Indonesia, atau PJTKI. Peran pemerintah menurut kerangka peraturan yang ada sekarang
adalah untuk mengawasi agen agen ini melalui skema perizinan yang disebut sebagai Surat
Izin Pelaksana Penempatan TKI, atau SIPPTKI.
Saat ini ada sekitar 400 PJTKI dengan izin beroperasi di Indonesia dan 90% di
antaranya tergabung dalam APJATI. Selain dari PJTKI yang memiliki izin resmi,
diperkirakan sekurangnya ada 800 perusahaan penyalur jasa tenaga kerja yang ilegal di
Indonesia. Sebagian besar dari perusahaan ilegal ini sebenarnya dikontrak oleh PJTKI resmi
untuk menyelenggarakan kampanye rekrutmen awal mereka.
c. Persamaan dan Perbedaan Sistem Hukum Ketenagakerjaan pada Negara Malaysia
dan Indonesia
Indonesia dan Malaysia merupakan 2 negara dengan Sistim Hukum yang berbeda.
Namun prinsip-prinsip umum mengenai ketenagakerjaan juga berlaku bagi negara Malaysia
maupun Indonesia sebagai negara anggota International Labour Organitation.
Negara Malaysia tidak termasuk negara yang mengirimkan warga negaranya secara
formal untuk bekerja di negara lain, melalui perjanjian antar negara sebagai negara pengirim
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
tenaga kerja seperti Indonesia. Warga negara Malaysia yang bekerja di negara lain bekerja
sebagai Tenaga Kerja Asing yang mempunyai keahlian tertentu pada sektor formal, berbeda
dengan negara Indonesia yang dengan jelas mengirimkan warganya sebagai tenaga kerja di
luar negeri baik sektor formal maupun pada sektor informal, sehingga Malaysia tidak
memiliki undang-undang khusus tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri, termasuk
badan / instansi pemerintah khusus yang menangani tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.
Peraturan mengenai ketenagakerjaan di Malaysia merupakan wewenang Kementerian
Pengurusan Sumber Manusia di bawah Perdana Menteri, sama dengan Kementerian Tenaga
kerja dan transmigrasi di Indonesia sebagai pembantu presiden dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Sebagai negara dengan bentuk federal, ketenagakerjaan merupakan
wewenang langsung federal bukan merupakan wewenang negara bagian, sehingga apabila
terjadi perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan pada peradilan federal yang khusus
menangani perburuhan atau perselisihan industrial, perbedaannya dengan negara Indonesia,
di Indonesia terdapat peradilan hubungan industrial pada daerah provinsi di bawah
Mahkamah Agung yang untuk beberapa perselisihan sifatnya final dan binding.
Terhadap kasus-kasus penyiksaan terhadap tenaga kerja Indonesia yang banyak terjadi
di Malaysia, mereka terjerat hukum berdasarkan perbuatan mereka yaitu hukum pidana, baik
kesalahan yang dilakukan oleh pekerja maupun majikan, sehingga pengadilan yang
berwenang untuk meyelesaikan perkara tersebut tidak melalui peradilan hubungan industrial,
kecuali berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban pekerja dan majikan yang jelas tertera di
dalam kontrak perjanjian yang telah dilanggar oleh salah satu pihak, di luar pelanggaran
hukum pidana, diselesaikan melalui peradilan hubungan industrial (dalah hal ini hanya
berlaku pada tenaga kerja formal yang bekerja di Malaysia) begitu juga pada peradilan
Indonesia dibedakan dengan jelas setiap kompetensi masing-masing peradilan dalam
menyelesaikan permasalahan hukum.
Perwakilan negara Indonesia di Malaysia membentuk satuan khusus untuk membantu
penyelesaian masalah TKI (terutama yang bekerja di sektor informal) yang merupakan
gabungan dari berbagai perwakilan dari departemen tenaga kerja, departemen luar negeri,
dan kepolisian RI. Sementara untuk TKI yang mengalami permasalahan hukum di
pengadilan diberikan pendampingan / bantuan hukum. Untuk menangani penyelesaian
sengketa tenaga kerja di Malaysia digunakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam The
Industrial Court Ordinance of 1948 dan Industrial Relations Act 1967. Dalam ketentuan
tersebut seperti halnya negara-negara maju yang menggunakan arbitrase untuk
menyelesaikan sengketa, maka Malaysia pun mempunyai sistim peradilan untuk
ketenagakerjaan menggunakan lembaga arbitrase dengan tata cara yang hamper serua yang
dikenal dengan istilah Industrial Court.
b. Perlindungan Hukum yang diberikan Pemerintah Malaysia dan Pemerintah Indonesia
bagi Buruh Migrant Indonesia di Negara Malaysia dalam Rangka Penegakan Hak
Hsasi Manusia menurut UUD 1945
Kerja merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu penghidupan
yang layak. Pekerjaan sangat berarti dalam upaya kelangsungan hidup dan mengaktualisasi
diri sehingga dapat lebih bermakna dan dihargai dalam lingkungan sekitarnya2. Hak bagi
setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pekerjaan. Sehingga
2 Muslan Abdurrahman.2006.Malang.Ketidakpatuhan TKI Sebuah Efek Diskriminasi Hukum.UMM Press.
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pekerjaan mempunyai makna yang sangat berarti dalam kehidupan manusia. Hal ini
merupakan salah satu bentuk hak yang melekat didalam diri bangsa Indonesia, sebagaimana
yang diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Perubahan IV UUD 1945 Pasal 27
ayat (1) menyatakan “setiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian”. Ketentuan ini diperkuat dengan pasal 28 D ayat (2) menyatakan
“setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan pelakuan yang adil dan
layak dalam hubungan kerja”.
Oleh karena hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar, pemerintah sebagai
penyelenggara pembangunan berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negaranya agar
dapat berkerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya, dan harus
dilakukan seoptimal mungkin oleh Negara. Dengan demikian, hak setiap warga Negara
dalam memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi. Artinya, Indonesia dituntut untuk melakukan
perencanaan terhadap hal tersebut untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar terciptanya
kesadaran atas kewajiban suatu negara3. Akan tetapi faktanya, Sampai saat ini di Indonesia
lapangan pekerjaan sangat terbatas. Karena Indonesia belum mampu menyediakan pekerjaan
seperti yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, sehingga secara ekonomi masyarakat
Indonesia banyak yang memprihatinkan. Disamping itu kesatuan dan kesatuan harus dijaga
dan stabilitas syarat bagi usaha-usaha lain dalam pembangunan ekonomi4 dan mengunakan
strategi-strategi dalam memecahkan persoalan bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia.5
Dalam ketentuan Undang-Undang, penempatan tenaga kerja Indonesia dibagi atas 2
yaitu tenaga kerja dalam negeri dan tenaga kerja luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri
telah mempunyai kekuatan dalam perlindungan ketenagakerjaan dapat dilihat dalam
Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Selanjutnya, Undang-Undang Republik ndonesia No. 39 tahun 2004 yang mengatur tentang
penempatan dan perlindungan tenaga kerja di luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri di
awasi secara langsung oleh Negara karena buruh berkerja dalam kedaulatan Negara
Republik Indonesia, sedangkan Tenaga Kerja Indonesia yang berada di luar negeri
perlindungan hukum mereka adalah MoU (Memorandum of Understanding) dan kedutaan
besar.
Perlindungan terhadap hak-hak dasar TKI di Malaysia telah dibentuk oleh pemerintah.
Bentuk perlindungan yang sebelumnya telah disepakati Indonesia dan Malaysia adalah
dengan membuat perjanjian berupa Memorandum of Understanding (MoU) TKI formal,
yakni TKI yang berkerja disektor pertambangan, pertanian dan pabrik kemudian
Memorandum of Understanding TKI informal, yakni TKI yang berkerja pada sektor rumah
tangga. Memorandum of Understanding (MoU) perlindungan TKI formal ditandatangani
pada 10 mei 2004 untuk menggantikan kedudukan nota penempatan TKI formal. Sebelum
ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) penempatan TKI di Malaysia
menggunakan “pertukaran nota mengenai prosedur penempatan TKI di Indonesia selain dari
penata laksana rumah tangga”. Kemudian penandatanganan Memorandum of Understanding
(MoU) tentang “The recruitment and placementof Indonesian domestic workers” dilakukan
di Bali pada 13 mei 2006. Berdasarkan konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun
3Adrian Sutedi.2009.Hukum Perburuhan.sinar grafika.hal.1
4 Juwon Sudarsono..Integritas,Demokrasi,dan Pembangunan.hal.147.
5Amir Santoso dan Riza Sahbudi. 1993. Jakarta. Perspektif pembangunan Politik Indonesia. Dian
Lestari Grafika.hal 148
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
1969 pasal 6 menyinggung kemampuan negara untuk membuat perjanjian dimana
dinyatakan : “Setiap Negara berdaulat memiliki kemampuan untuk membuat perjanjian”.6
Harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk membuat kebijakan yang tepat dan
komprehensif bagi permasalahan TKI di luar-negeri. Disamping karena penanganan TKI
melibatkan banyak institusi pemerintah maupun non-pemerintah, kerjasama yang baik harus
dijalin antara kedua negara (Indonesia dan Malaysia) sedangkan sistem, prosedur serta
situasi dalam negeri yang harus dihadapi juga berlain-lainan. Yang perlu diperhatikan ialah
bahwa banyak masalah yang sebenarnya bisa dipecahkan dengan sendirinya apabila terdapat
itikad baik dari semua pihak untuk membangun kerjasama yang adil dan saling
menguntungkan. Sebaliknya, perlu juga diantisipasi bahwa semua pihak yang terlibat di
dalam urusan menyangkut TKI mungkin juga memiliki kepentingan-kepentingan sempit dan
terkadang tidak segan-segan mengorbankan kepentingan orang lain. Kemungkinan adanya
penyalahgunaan, kecurangan, atau tindak kejahatan bisa terjadi di semua titik yang
menyangkut jalur pengiriman maupun pemulangan buruh migran yang bekerja di luarnegeri.
Prinsipnya ialah there always goods and bads in everyone. Pada setiap lembaga atau
institusi, tentu terdapat banyak niat baik dan mungkin ada beberapa orang yang berniat
buruk. Tetapi yang harus dihindari ialah supaya kerjasama semua pihak akan dapat
menghasilkan aturan main yang adil dan mencegah munculnya maksud-maksud buruk oleh
pihak tertentu.
Mengingat panjangnya jalur yang harus ditempuh oleh seorang buruh migrant dalam
mengurus segala hal yang menyangkut pekerjaannya di luar-negeri, hal yang paling krusial
ialah informasi yang cukup dan objektif mengenai prosedur, jenis pekerjaan yang akan
dilakukan, kontrak kerja yang disepakati, serta hak dan kewajiban bagi semua pihak.
Kelemahan yang masih ada sejauh ini ialah bahwa lembaga atau instansi pemerintah yang
bertugas menangani permasalahan di lapangan baru bergerak kalau sudah ada kasus yang
disoroti oleh publik. Dari masalah yang timbul ketika amnesti dari pihak pemerintah
Malaysia berakhir pada tahun 2005, misalnya, terdapat kesan bahwa pemerintah lebih sering
bertindak sebagai pemadam kebakaran. Berbagai laporan dari Human Rights Watch (HRW)
mengungkapkan bahwa buruh migran dari Indonesia adalah termasuk yang paling rendah
dukungannya, baik dari pemerintah, LSM maupun dari public di tanah air. Ini sangat
berbeda dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Filipina, misalnya, yang
memberi perhatian lebih serius dan benar-benar memperlakukan buruh migran itu sebagai
”pahlawan devisa”. Alangkah baiknya apabila pola kebijakan pemerintah Indonesia diubah
sehingga bersifat lebih melindungi dan mengambil langkah - langkah preventif sebelum
gejolak dan masalah di lapangan muncul dengan lebih memberdayakan pemerintahan daerah
dalam membuat regulasi sendiri berkaitan buruh migrant di daerahnya sebagaimana amanat
undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar
Negeri.
Upaya untuk memperbaiki proses rekrutmen dan pelatihan sebenarnya sudah
diprogramkan oleh pemerintah sejak awal ketika seorang calon TKI berniat untuk bekerja di
luar-negeri. Tetapi sejauh ini tampaknya masih banyak lubang-lubang yang menjadi titik
lemah dalam proses rekrutmen tersebut. Karena banyak calon TKI yang tidak percaya
dengan sejumlah PJTKI, yang sering dilakukan ialah justru mengambil jalur illegal sehingga
menimbulkan masalah di kemudian hari. Maka tindakan tegas terhadap PJTKI liar yang
6 Soemaryo Suryokusumo.2003. Yogyakarta. Pembuatan dan Berlakunya Perjanjian.UGM. hal.2
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
sekadar ingin memperoleh keuntungan cepat dari calon TKI kiranya masih perlu terus
ditingkatkan. Beberapa peraturan perundangan sebenarnya sudah menggariskan pentingnya
koordinasi lintas departemen untuk menangani TKI yang lingkup persoalannya sangat luas,
misalnya yang tertuang di dalam Inpres No.4 tahun 2004. Tetapi tampaknya kebijakan
sektoral masih terjadi apabila sejumlah TKI menghadapi masalah di dalam maupun di luar
negeri. Komitmen pemerintah sekarang ini untuk melengkapi pranata yang memadai bagi
perlindungan TKI di luar negeri adalah sebuah langkah terobosan.
Selanjutnya, kerjasama yang erat antara Depnakertrans dan Deplu untuk perlindungan
TKI perlu terus dibangun dan semestinya menjadi program prioritas yang membutuhkan
langkah-langkah harmonisasi. diperlukan komitmen lebih kuat untuk melindungi TKI yang
sedang bekerja di luar-negeri. Intervensi memang tidak mungkin dilakukan secara langsung
karena sebagai buruh migran mereka ada di wilayah hukum negara lain. Sebagai contoh,
buruh migran di Malaysia tampaknya akan sulit untuk memperoleh hak yang sama dalam
perlindungan bagi tenaga-kerja seperti yang tercantum dalam Section XII of the
Employment Act of 1955 yang berlaku di negara ini. Intervensi juga tidak mungkin
dilakukan menyangkut kebijakan pemerintah Malaysia yang sampai kini belum
menandatangani Konvensi mengenai Pengungsi tahun 1951. Tetapi setidaknya pemerintah
Indonesia melalui KJRI dan KBRI bisa terus memantau perlakuan majikan terhadap para
TKI tersebut. Berbagai imbauan memang sudah dilakukan, termasuk yang disampaikan oleh
LSM yang memiliki perhatian terhadap buruh migran di Malaysia seperti Tenaganita,
Migran Care, dan sebagainya. Memang masih disayangkan bahwa persepsi pemerintah di
Indonesia maupun di Malaysia terhadap LSM seringkali masih bersifat negatif. Sementara
itu masalah-masalah yang diungkapkan oleh LSM itu sendiri terkadang kurang objektif atau
kurang didukung dengan data yang lengkap.
Seperti telah disinggung, dari berbagai laporan dan kecenderungan pelanggaran hak
azasi manusia, yang perlu mendapat perhatian ialah banyaknya kasus yang menimpa TKI
yang bekerja sebagai pembantu rumah-tangga. Karena kebanyakan paspor mereka diambil
oleh majikan, sedangkan hampir sepanjang hari mereka bekerja untuk majikan,
kecenderungan pelanggaran hak azasi manusia lebih sering terjadi. Pelanggaran itu mulai
dari jam kerja yang melebihi takaran, penyekapan, gaji yang tidak dibayar penuh, pelecehan
secara verbal atau secara fisik, hingga pelecehan seksual atau penyiksaan. Itulah sebabnya,
seruan yang senantiasa disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional seperti ILO, IOM,
Komisi HAM-PBB, dan Amnesty Internasional ialah perlunya membuat ketentuan atau
peraturan yang berbeda bagi para pembantu rumahtangga dibanding para buruh migran
lainnya. Salah satunya yang sampai sekarang belum terwujud ialah hak para buruh migran
itu untuk tetap memegang paspornya sehingga tidak rentan terhadap penyalahgunaan hak
azasi manusia serta tidak mudah melarikan diri untuk terjerumus menjadi pendatang haram.
Pemerintah Indonesia perlu mengupayakan agar pengiriman tenaga-kerja di luar
negeri disertai dengan peningkatan keterampilan atau keahlian yang memadai. Berbagai
persoalan yang timbul dari para TKI yang bekerja di luar-negeri pada dasarnya karena
rendahnya daya tawar mereka dari segi keterampilan, keahlian atau pengetahuan. Harus
diakui bahwa para TKI yang bekerja di Malaysia saat ini kebanyakan masih masuk ke jenisjenis
pekerjaan dalam kategori ”4D”, dirty, diminutive, difficult, dangerous. Pekerjaan yang
dijalani terbatas sebagai buruh bangunan, pembantu rumah-tangga, pekerja kebun, atau
jenis-jenis pekerjaan lain yang sudah tidak diminati oleh orang Malaysia. Dalam hal ini, kita
mungkin sudah ketinggalan dibanding pemerintah Filipina yang lebih mengutamakan
Telah Dipublikasikan di Majalah Ilmiah Solusi Unsika ISSN 1412-86676 Vol. 11 No. 24 Ed.Sep - Nop 2012
pengiriman tenaga-kerja dengan tingkat keahlian menengah seperti perawat, sopir, tenaga
perkantoran, dan sebagainya. Maka masalah pelatihan dan peningkatan sumberdaya
manusia, disamping pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya di tanahair, adalah strategi
jangka-panjang yang harus senantiasa dijadikan perhatian utama para perumus kebijakan di
Indonesia.
E. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Sistem Hukum Ketenagakerjaan Malaysia dan Indonesia banyak sekali perbedaan
namun sebagai negara dengan bentuk negara hukum terdapat pula persamapersaman,
dikarenakan system hukum kedua negara tersebut secara umum
memamang berbeda, Indonesia sebagai penganut sistim cicil law dari negaranegara
Barat (eropa continental) dengan bentuk negara Kesatuan, sedangkan
Malaysia penganut sistim common law dengan bentuk negara Federal. Persamaan
dari keduanya sama-sama mempunyai undang-undang ketenagakerjaan yang
berlaku bagi pekerja dan majikan / pengusaha setempat, perbedaannya adalah
Malaysia sebagai negara Penerima tenaga kerja dari luar negeri, sementara
Indonesia merupakan negara pengirim tenaga kerja di luar negeri, sehingga di
Malaysia tidak terdapat peraturan undang-undang ketenagakerjaan yang khusus
mengatur tenaga kerja luar negeri, bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di
Malaysia terikat ketentuan hukum yang berlaku di Malaysia.
b. Bentuk perlindungan hukum yang diberikan Indonesia dan Malaysia terhadap
Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia yaitu dengan melakukan nota kesepahaman /
Memorandum of Understanding (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Malaysia
2. Saran
a. Agar dilakukan harmonisasi antara kementerian yang berkaitan dengan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar negeri seperti kementerian Tenaga kerja dan
Tarnsmigrasi, Kementerian Luar negeri, Kementerian kesehatan dan Kementerian
Hukum dan Ham sebagai bagian dari pengurusan keimigrasian tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri sehingga dapat lebih terkontrol dan dapat mengawasi
tenaga kerja Indonesia di Malaysia
b. Adanya pengawasan dan sanksi keras bagi PJTKIS sebagai agen yang
memberangkatkan Tenaga Kerja Indonesia karena Indonesia sangat dekat dengan
Malaysia sehingga memungkinkan pemberangkatan illegal dilakukan oleh para
agen tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar