Identifikasi dan Analisis Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
November 1, 2011
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketenagakerjaan
pada awalnya merupakan bidang yang berada dalam ruang lingkup hukum
privat. Namun karena ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang yang
penting untuk diatur secara langsung oleh negara. Maka negara turun
tangan langsung dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai
ketenagakerjaan. Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum
privat tetapi menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa
langkah ini dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang
menjadikan Tenaga Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri menjadi
korban dan kurang mendapat perlindungan. Pembuatan regulasi yang
mengatur secara khusus ketenagakerjaan dituangkan dalam UU No. 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan.
Hubungan Ketenagakerjaan
Masalah yang
sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita utama serta buah bibir
dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi. Perlakuan tidak adil antara
sesama pekerja/buruh maupun antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini
telah diatur agar tidak adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini
juga sedang menjadi bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di
Indonesia adalah outsourcing. Dimana praktek outsourcing ini menyengsarakan pekerja atau buruh dan menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial antara pekerja dengan pengusaha.
Sebelum
terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang yang akan
mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan yang harus
dijalani. Mulai dari prakerja, hubungan kerja, menjalankan pekerjaan dan
pascakerja. Dalam menjalani proses tersebut tidak akan selalu berjalan
dengan mulus. Tentu akan dijalani berbagai rintangan demi peningkatan
kerja yang lebih baik. Dalam proses tersebut juga akan lahir berbagai
masalah.
Dengan
berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan baik sebelum dan
sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu diketahui bagaimana
tingkat penerimaan masyarakat serta pemahaman masyarakat atas lahirnya
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih
perlu dipertanyakan bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh
UU Ketenagakerjaan kepada pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari
regulasi tersebut juga perlu di identifikasi untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dijabarkan tentu dapat terlihat banyak
hal yang peru dibenahi. Maka dapat ditentukan hal-hal yang akan menjadi
rumusan masalah yaitu :
- Bagaimanakah pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?
- Apakah tujuan dari disahkan dan diundangkannya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ?
- Mengapa setelah adanya regulasi yang
mengatur mengenai ketenagakerjaan masih tetap saja ada masalah dalam
bidang ketenagakerjaan ?
- Bagaimanakah problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam bidang ketenagakerjaan terkait perlindungan tenaga kerja ?
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Ketenagakerjaan
Pada awalnya
keberadaan Hukum Ketanagakerjaan di Indonesia terdiri dari beberapa
fase pada abad 120 SM. Ketika bangsa Indonesia mengenal adanya sistem
gotong royong diantara sesama anggota masyarakat. Gotong royong adalah
sistem pengerahan tenaga kerja tambahan dari luar kalangan keluarga
dengan tujuan untuk mengisi kekurangan tenaga. Sifat gotong royong
memiliki nilai luhur yang juga diyakini membawa kemaslahatan. Dengan
nilai-nilai kebaikan, kebijakan, dan hikmah untuk masyarakat hingga
gotong royong menjadi sumber terbentuknya Hukum Ketanagakerjaan Adat.
Karena bersifat konvensional regulasi dari Hukum Ketanagakerjaan Adat
tidak tertulis. Namun Hukum Ketanagakerjaan Adat menjadi identitas
bangsa yang mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang merupakan
penjelmaan dari jiwa bangsa Indonesia dari abad keabad.
Memasuki
abad masehi, saat mulai berdirinya kerajaan di Indonesia hubungan kerja
dilakukan dengan adanya perbudakan. Ketika zaman Kerajaan Hindia Belanda
terdapat sistem pengkastaan dengan 5 perbeadaan kasta antara lain,
brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan paria. Kasta paling rendah adalah
golongan sudra sedangkab paria adalah budak dari kasta brahmana,
ksatria, dan waisya, Golongan paria layaknya budak hanya menjalankan
kewajiban sedangkan hak-haknya dikuasai oleh para majikan.
Pada masa
Kerajaan Islam meski tidak secara tegas adanya sistem pengangkatan.
Namun pada pokoknya sama saja, pada masa ini kaum bangsawan (raden )
mempunyai kekuasaan atau hak penuh atas para tukangnya. Nilai-nilai
keislaman tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh
dinding budaya bangsa yang sudah berlaku sejak 6 abad sebelumnya.
Ketika
Hindia Belanda menduduki Indonesia, masalah perbudakan semakin
meningkat. Terdapat perlakuan sangat keji dan tidak berprikemanusiaan
terhadap budak. Problem solvingnya adalah memberikan kedudukan
yang sama antara budak dengan manusia merdeka secara sosiologis, yuridis
dan ekonomis. Langkah nyata dalam menyelesaikan masalah perbudakan
tersebut adalah pada masa Belanda dengan dikeluarkannya Staatblad 1817
No. 42 yang berisikan larangan untuk memasukan budak-budak ke Pulau
Jawa. Tahun 1818 di tetapkan pada suatu UUD HB (Regeling Reglement) 1818
berdasarkan pasal 115 RR yang menetapkan bahwa paling lambat pada
tanggal 1 Juni 1960 perbudakan dihapuskan.
Berbagai
masalah perbudakan dalam ketenagakerjaan terjadi di masa lalu. Namun
selain berbagai kasus pada masa pendudukan Hindia Belanda mengenai
perbudakan yang keji. Terdapat perbudakan lain yang dikenal dengan
istilah rodi yang pada dasarnya sama saja dengan perbudakan lainnya.
Rodi pada dasarnya merupakan kerja paksa yang pada awalnya dilakukan
gotong royong oleh semua penduduk desa-desa tertentu. Dengan keadaan
tersebut maka penjajah memanfaatkannya menjadi suatu kerja paksa untuk
kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
B. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja, yang dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga
kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri
maupun untuk masyarakat.” Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.”
Demi
meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan pembangunan diberbagai
aspek. Tidak terkecuali dengan pembangunan ketenagakerjaan yang
dilakukan atas asas keterpaduan melalui koordinasi fungsional lintas
sektoral pusat dan daerah. Dalam hal ini maksudnya adalah asas
pembangunan ketanagakerjaan berlandaskan asas pembangunan nasional
terkhusus asas demokrasi pancasila, asas adil, dan merata.
Dalam
pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-bagian yang harus
dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu senditi adalah pra
kerja, masa dalam hubungan kerja, masa purna kerja (post employment).
Cakupan dari ketenagakerjaan terbilang luas, jangkauan hukum
ketenagakerjaan lebih luas bila dibandingkan dengan hukum perdata yang
diatur dalam buku III title 7A. Terdapat ketentuan yang mengatur
penitikberatan pada aktivitas tenaga kerja dalam hubungan kerja
Berbicara mengenai hubungan kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : ”Hubungan
kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsure-unsur pekerjaan ,
upah dan perintah” dan “Hubungan kerja adalah suatu hubungan
pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan
untuk waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.”
PEMBAHASAN
A. Pembahasan Secara Umum
Jika
diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat) tujuan yang
disebutkan pada Pasal 4 bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :
- Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu
untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga
kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan
tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam
Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai
kemanusiaannya.”
- Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan
kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga
kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian
pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat
mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.”
- Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan; dan
- Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
Karena
bidang ketenegakerjaan dianggap penting dan menyangkut kepentingan umum.
Maka pemeritah mengaihkannya dari hukum privat menjadi hukum publik.
Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi baik
dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus yang
masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan
tenaga kerja asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi
evaluasi untuk kepentingan di bidang ketenagakerjaan.
Bagian
penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan adalah
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja ini
termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang
berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Dalam Pasal 1320 KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah :
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- suatu pokok persoalan tertentu
- suatu sebab yang tidak dilarang
Dari
ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang
dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang
disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Perjanjian kerja yang dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas
pekerjaan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan
yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan
yang tercantum dalam UU no.13 thn. 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :
- Adanya unsure service (pelayanan)
- Adanya unsure time (waktu )
- Adanya unsure pay (upah )
Masyarakat
pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak adil
(diskrimimasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan
pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”
Masyarakat
menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan berbagai masalah yang telah
terjadi sebelum lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan sebagian bisa teratasi setelah lahirnya regulasi tersebut. Namun
setelah lahirnya UU tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya masalah
baru terkait dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah
adalah masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja/buruh dalam
hubungan kerjanya dengan pengusaha yang memperkerjakannya. Masalah
tersebut adalah outsourcing yang dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur secara khusus dalam penyelesaiannya.
Pemahaman
masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh
serta masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru atas UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Melahirkan niat dari masyarakat
untuk dilakukannya revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Adanya niat dari pemerintah untuk melakukan revisi atas
UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi
kepada masyarakat untuk mengatasi berbagai permasalahan telah terjadi
serta sebagai langkah preventif untuk masalah baru. Pemerintah
memberikan kesempatan kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
untuk melakukan kajian independen dan penyempurnaan revisi UU
Ketenagakerjaan tersebut. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh
Menakertrans Muhaimin Iskandar setelah melakukan pertemuan konsolidasi
Lembaga Kerja Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di Jakarta,
tepatnya Senin tanggal 8 November 2010 lalu.
Dalam pertemuan tersebut dibahas pasal-pasal yang terkait dengan outsourcing
(alih daya), pengupahan, jaminan sosial dan pesangon serta dan
pelaksanan perjanjian kerja waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam
pertemuan tersebut adanya kesepakatan pengkajian mendalam menghenai
penyempurnaan dan revisi UU No. 13/2003 yang dilakukan secara
komprehensif, baik itu revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan itu sendiri, ataupun terkait dengan revisi UU No. 3
tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya beberapa draft yang disebut revisi UU No.13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada saat itu pula Muhaimin selaku
Menakertrans menegaskan bahwa draft tersebut bukan berasal dari
Kemenakertans. Maka semua pihak diharapkan tidak percaya begitu saja
dengan isi draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran dan
sikap saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans
juga menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan
November proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas di
lingkungan internal Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas
kementerian dan pihak lainnya. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan tahap
pematangan. Jika materi atas revisi UU Ketenagakerjaan tersebut sudah
matang maka akan diajukan ke DPR hingga akhirnya akan diratifikasi.
Meski sampai saat ini belum terlihat adanya tanda akan di undangkannya
hasil revisi dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun
langkah revisi atas UU Ketenagakerjaan adalah problem solving
atas masalah yang timbul sebelum dan setelah lahirnya regulasi tersebut.
Hal ini juga menjawab permasalahan mengapa masalah terkait
ketenagakerjaan tetap ada meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.
Masyarakat
sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan dari UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan tersebut bisa dikeluarkan karena
Menakertrans yang menyebutkan setiap kalangan masyarakat terutama
kalangan pengusaha, serikat pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak
mungkin saran, masukan dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu,
Menakertrans, LIPI dan LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan
bahwa menerima dengan baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat
untuk perbaikan regulasi tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang
terdengar ditelinga masyarakat yang merupakan forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan LKS
Tripartit demi memperkuat peranannya dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan pekerja/buruh, menarik investasi dan penciptaan industri
yang lebih bagus.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Masyarakat
memahami dengan jelas UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
terlihat jelas dengan cara masyarakat menanggapi berbagai ketentuan dan
kekurangan dari UU Ketenagakerjaan tersebut. Masyarakat memahami dengan
baik kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh dari
regulasi tersebut dan masih adanya celah untuk lahirnya masalah baru
dalam ketenagakerjaan. Masyarakat menerima dengan baik terhadap UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang ditunjukkan dengan adanya
niat masyarakat untuk melakukan perbaikan melalui revisi UU
Ketenagakerjaan tersebut
Akibat
lahirnya berbagai masalah di Indonesia terkait ketenagakerjaan. Maka
ketenagakerjaan yang pada awalnya berada dalam ruang lingkup hukum
privat maka pemerintah memandang hukum ketenagakerjaan itu bagian
penting untuk diatur langsung oleh pemerintah sehingga dialihkan menjadi
bagian dari hukum publik. Sedangkan tujuan dari UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan itu sendiri dituangkan dalam Pasal 4 UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski
awalnya berbagai permasalahan sebelum lahirnnya UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dapat diselesaikan. Namun ternyata setelah lahir
UU tersebut malah melahirkan masalah baru dalam hal kurangnya
perlindungan terhadap pekerja/buruh dan masih adanya celah lain untuk
lahirnya masalah baru dalam ketenagakerjaan. UU Ketengakerjaan tersebut
belum mengatur dengan jelas perlindungan terhadap pekerja/buruh yang
selalu berada dipihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja.
Problem solving
untuk menyelesaikan masalah dalam bidang ketenagakerjaan saat ini
adalah perlunya dilakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Karena masih kurangnya perlindungan yang diberikan pada
pekerja/buruh yang menjadi pihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja
dan masih adanya celah yang bisa memberikan masalah baru dalam
ketenagakerjaan terutama dalam hubungan kerja.
B. Saran
Peran serta
berbagi kalangan masyarakat dalam penyelesaian masalah ketenagakerjaan.
Karena dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan secara nasional tidak
hanya menjadi bagian dari pemerintah tetapi juga kalangan masyarakat
pada umumnya. Masyarakat pada umumnya dalam hal ini tidak hanya kalangan
pekerja/buruh atau para pengusaha. Namun juga masyarakat lain yang
berada diluar pekerja/buruh dan pengusaha.
Pemerintah
dapat membuat peraturan atau kebijakan dalam menyelesaikan masalah
ketenagakerjaan. Tetapi ketika dalam penegakannya dan penerapannya dalam
masyarakat tidak adanya peran aktif masyarakat dalam mewujudkan
penegakan hukum yang baik dalam ketenagakerjaan. Maka usaha yang
dilakukan pemerintah tentu akan sia-sia. Pemerintah tidak akan dapat
bertepuk sebelah tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Soetami, A. Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung
Sutedi, Andrian, 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan